Work-life balance: Hak Pekerja atau Kemewahan?
Dalam dunia kerja modern, batas antara kehidupan profesional dan pribadi semakin kabur. Bekerja tidak lagi terbatas oleh jam kantor. Email, pesan kerja, dan deadline terus menghantui, bahkan setelah pulang ke rumah. Alih-alih beristirahat, banyak pekerja justru terjebak dalam siklus kerja tanpa henti. Hal ini menimbulkan perdebatan : apakah work-life balance merupakan hak dasar pekerja, atau sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati segelintir orang?
Pada kenyataannya work-life balance memiliki dampak yang luas terhadap kesehatan mental, kebahagiaan individu, dan produktivitas perusahaan. Jika diabaikan, ketidakseimbangan ini dapat berujung pada kelelahan kerja (burnout) yang merugikan semua pihak. Namun, masih ada anggapan bahwa keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi hanyalah sebuah kemewahan yang tidak dapat dinikmati semua orang, terutama pekerja di sektor informal atau mereka yang bekerja dengan sistem kontrak. Padahal, work-life balance bukanlah sekadar privilege, melainkan hak dasar yang seharusnya dijamin melalui kebijakan perusahaan dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan berkelanjutan.
Work-life balance bukan sekadar membagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, tetapi tentang menemukan keseimbangan yang menghadirkan kepuasan di keduanya. Seiring perubahan pola kerja yang semakin dinamis, kemajuan teknologi, dan tekanan produktivitas yang terus meningkat, perhatian terhadap keseimbangan ini pun semakin besar. Namun, banyak perusahaan justru menerapkan budaya kerja tanpa batasan waktu, mendorong karyawan untuk terus bekerja tanpa jeda, dan perlahan menjadi sebuah kebiasaan yang pada akhirnya merampas kesejahteraan mereka. Menurut survei oleh FlexJobs pada tahun 2022, 63% responden lebih memilih keseimbangan kerja-hidup daripada gaji yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa banyak pekerja menganggap work-life balance sebagai prioritas utama dalam memilih pekerjaan.
Selain itu, Pandemi COVID-19 telah mempercepat perubahan dalam cara kita bekerja. Dengan banyaknya pekerja yang beralih ke model kerja jarak jauh, batasan antara kehidupan kerja dan pribadi semakin kabur. Penelitian yang dilakukan oleh Forbes Health terhadap 1.120 pekerja menunjukkan bahwa 90% pekerja menganggap work-life balance sebagai aspek penting dari pekerjaan mereka. Di era modern ini, pekerja tidak lagi sekadar menerima aturan perusahaan, mereka mulai menuntut fleksibilitas yang memungkinkan mereka untuk menyesuaikan pekerjaan dengan prioritas pribadi mereka.
Keseimbangan yang baik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi tidak hanya bermanfaat bagi pekerja, tetapi juga bagi perusahaan. Karyawan yang merasa seimbang cenderung lebih produktif dan terlibat dalam pekerjaan mereka. Sebuah studi menunjukkan bahwa karyawan dengan work-life balance yang baik memiliki tingkat keterlibatan 40% lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak. Selain itu, menjaga keseimbangan ini dapat mengurangi tingkat stres dan risiko burnout, yang pada gilirannya mengurangi biaya kesehatan bagi perusahaan.
Salah satu contoh nyata dari pentingnya work-life balance dapat dilihat pada perusahaan teknologi besar seperti Google. Mereka menawarkan berbagai fasilitas untuk mendukung keseimbangan kerja-hidup karyawan, termasuk jam kerja fleksibel, ruang relaksasi, dan program kesehatan mental. Hasilnya, Google mencatat tingkat retensi karyawan yang sangat tinggi dan produktivitas yang luar biasa. Sebaliknya, perusahaan dengan budaya kerja yang menuntut jam kerja panjang sering kali mengalami turnover karyawan yang tinggi dan penurunan produktivitas.
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, tantangan dalam mencapai work-life balance masih sangat signifikan. Pekerja di sektor informal, yang merupakan bagian besar dari angkatan kerja, sering kali terjebak dalam pola kerja yang tidak sehat. Mereka harus bekerja dalam jam yang panjang dengan upah yang rendah dan tanpa jaminan sosial yang memadai. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata pekerja di Indonesia masih bekerja 35 jam atau lebih per minggu. Angka ini mencerminkan realitas di mana banyak pekerja mengalami tekanan tinggi akibat target yang tidak realistis dan tuntutan pekerjaan yang berlebihan. Kondisi ini diperparah oleh budaya kerja yang menghargai kehadiran fisik di tempat kerja lebih dari hasil kerja itu sendiri. Banyak pekerja merasa terpaksa untuk lembur demi memenuhi ekspektasi atasan, walaupun hal ini berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik mereka.
Meskipun ada peraturan yang mengatur jam kerja dan hak istirahat, banyak perusahaan yang mengabaikannya, terutama di sektor informal dan industri yang memiliki tekanan kerja tinggi. Pekerja kontrak dan pekerja lepas juga sering kali berada dalam posisi rentan, karena mereka tidak memiliki perlindungan yang cukup untuk menuntut keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Selain itu, Banyak perusahaan masih menganut pola pikir bahwa bekerja lebih lama sama dengan lebih produktif, padahal jam kerja yang berlebihan justru dapat menurunkan efektivitas dan meningkatkan risiko burnout.
Untuk mengatasi permasalahan ini, hal yang perlu dilakukan adalah mengubah paradigma perusahaan mengenai produktivitas. Perusahaan harus menyadari bahwa kesejahteraan pekerja bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada keberlangsungan bisnis. Menerapkan kebijakan fleksibel seperti jam kerja yang lebih adaptif, opsi kerja jarak jauh, dan cuti yang lebih memadai dapat membantu pekerja mencapai keseimbangan yang lebih baik.
Pemerintah juga memiliki peran penting dalam memastikan regulasi terkait jam kerja dan kesejahteraan pekerja diterapkan dengan baik. Pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan yang melanggar aturan serta pemberian insentif bagi perusahaan yang menerapkan kebijakan pro-keseimbangan dapat menjadi solusi efektif. Selain itu, edukasi kepada pekerja tentang hak-hak mereka juga perlu ditingkatkan agar mereka lebih berani menuntut lingkungan kerja yang sehat.
Di sisi individu, pekerja perlu lebih tegas dalam menetapkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mengatur jadwal kerja dengan disiplin, menghindari kebiasaan bekerja di luar jam kerja, serta meluangkan waktu untuk aktivitas di luar pekerjaan adalah beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjaga keseimbangan.
Dengan sinergi antara perusahaan, pemerintah, dan pekerja, work-life balance dapat diwujudkan sebagai hak yang nyata, bukan lagi sekadar kemewahan bagi segelintir orang.
Pada akhirnya, work-life balance bukanlah sekadar kemewahan, melainkan hak yang seharusnya dinikmati oleh setiap pekerja. Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sangat penting untuk menjaga kualitas hidup yang baik. Tanpa keseimbangan ini, individu berisiko mengalami penurunan kesehatan mental dan fisik, yang pada gilirannya dapat mengganggu produktivitas dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja menjadi sangat penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi. Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya work-life balance, kita dapat memastikan bahwa semua pekerja mendapatkan hak mereka untuk hidup dan bekerja dengan seimbang. Melalui upaya bersama ini, kita tidak hanya menciptakan tenaga kerja yang lebih bahagia dan produktif, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Referensi :
Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). BOOKLET
Morgan, K. (26 April 2023). Apa artinya \\\’work-life balance\\\’ bagi pekerja modern? BBC.com. Diakses pada 20 Maret 2025 dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd10xwkdqe1o
Putra, S. (9 November 2020). Berkarier di Perusahaan Google! Edufund.co.id. Diakses pada 20 Maret 2025 dari https://edufund.co.id/blog/berkarir-di-perusahaan-google/
Seek Employer. Ide Yang Dapat Membantu Karyawan Mencapai Work-life balance. Diakses pada 20 Maret 2025 dari https://id.employer.seek.com/id/market-insights/article/ide-yang-dapat-membantu-karyawan-mencapai-work-life-balance