Jakarta, 8 Mei 2025 – Isu politik kembali memanas di Indonesia dengan wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang kini menjadi sorotan utama. Gelombang kontroversi ini dipicu oleh pernyataan keras dari Forum Purnawirawan TNI, yang memantik reaksi tajam dari berbagai pihak, termasuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara itu, Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) menambah bensin ke dalam bara polemik dengan tidak mengundang Gibran ke acara mereka, membuat publik bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi di balik layar?
Akar Polemik: Wacana Pemakzulan
Wacana pemakzulan Gibran mencuat setelah sejumlah purnawirawan TNI menyuarakan ketidakpuasan terhadap posisi wakil presiden termuda dalam sejarah Indonesia ini. Meski alasan spesifik masih samar, isu ini langsung viral di media sosial, dengan tagar #GibranRakabumingRaka membanjiri platform X. Netizen terpecah: ada yang mendukung Gibran sebagai simbol regenerasi politik, sementara yang lain mempertanyakan legitimasi dan pengalamannya.
Luhut Turun Tangan: “Taat Konstitusi!”
Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh senior yang dikenal vokal, tak tinggal diam. Dalam pernyataannya, ia tegas meminta para purnawirawan TNI untuk menghormati konstitusi dan mengakui Gibran sebagai wakil presiden yang sah. “Kita harus menjaga stabilitas negara. Gibran dipilih rakyat, ini bukan soal suka atau tidak suka,” ujar Luhut, yang sontak memicu debat sengit di kalangan warganet. Bagi sebagian pihak, pernyataan ini dipandang sebagai bentuk pembelaan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran, sementara yang lain melihatnya sebagai upaya meredam gejolak politik.
PPAD dan “Snub” yang Menghebohkan
Polemik semakin memanas ketika Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) secara terbuka tidak mengundang Gibran dalam acara resmi mereka. Langkah ini dianggap sebagai “penolakan halus” yang sarat makna politik. “Ini bukan sekadar soal protokoler, tapi sinyal ketidaknyamanan di kalangan purnawirawan,” ungkap seorang pengamat politik yang enggan disebut namanya. Keputusan PPAD ini langsung menjadi bahan bakar diskusi di X, dengan meme dan cuitan satir mengalir deras, mulai dari guyonan tentang “undangan yang tersesat” hingga sindiran tentang dinamika internal elite militer.
Gibran: Diam di Tengah Badai
Menariknya, Gibran sendiri memilih untuk tidak banyak berkomentar atas kegaduhan ini. Fokus pada tugasnya sebagai wakil presiden, ia terlihat menghadiri sejumlah agenda resmi, termasuk sidang Kabinet Merah Putih. Sikap tenangnya ini justru memicu spekulasi: apakah ini strategi politik untuk meredam isu, atau tanda bahwa Gibran sedang menyiapkan langkah besar di balik layar?
Media Sosial: Arena Pertarungan Opini
Di dunia maya, tagar #GibranRakabumingRaka menjadi medan tempur opini publik. Pendukung Gibran, yang sebagian besar adalah generasi muda, menyebut wacana pemakzulan ini sebagai serangan politik yang tidak berdasar. Salah satu warganet, @AnakMuda_ID, menulis, Gibran baru menjabat, kasih waktu dong! Ini cuma permainan elite yang iri. #GibranRakabumingRaka. Di sisi lain, kritik pedas juga mengalir. Pengguna X dengan akun @PolitikKritis berkomentar, Wapres kok diem aja pas negara gaduh? Ini soal leadership, bukan cuma jabatan. #PemakzulanGibran. Tak ketinggalan, ada pula yang mencoba meredakan tensi, seperti @NetralObserver yang menulis, Daripada ribut, mending kita lihat kinerjanya dulu. Jangan buru-buru judge. #PolitikDamai.
Tambahan kutipan warganet yang memperkaya diskusi datang dari @PemudaPancasila_X, yang menyatakan, Purnawirawan TNI ngomong pemakzulan, tapi rakyat yang pilih Gibran. Siapa yang lebih berhak bicara? #GibranRakabumingRaka, menyoroti legitimasi demokratis Gibran. Sementara itu, @CerdasPolitik menambahkan nada skeptis, Luhut bela Gibran, PPAD cuekin Gibran. Ini teater politik apa realitas? Publik bingung. #PemakzulanGibran. Kutipan-kutipan ini mencerminkan betapa panasnya perdebatan di media sosial, dengan sentimen yang terbelah antara dukungan, kritik, dan kebingungan atas dinamika yang terjadi.
Apa Selanjutnya?
Wacana pemakzulan ini, meski masih dalam tataran diskusi, telah menunjukkan betapa rapuhnya dinamika politik Indonesia saat ini. Dengan Luhut yang berupaya memadamkan api, PPAD yang menambah bensin, dan Gibran yang memilih diam, situasi ini bak drama politik yang belum menemui klimaksnya. Publik kini menanti: akankah wacana ini mereda, atau justru memicu gejolak yang lebih besar?
(SYM Wawi)