Cirebon, 28 April 2025 — Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terus menunjukkan peran vital sebagai penggerak utama ekonomi Indonesia, terutama di tengah tantangan dunia yang semakin kompleks dan tidak menentu. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, UMKM menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap hampir 97% tenaga kerja di seluruh penjuru tanah air.
Dalam era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), UMKM dituntut untuk beradaptasi dengan cepat. Perubahan teknologi yang cepat, fluktuasi pasar global, serta pergeseran perilaku konsumen menjadi tantangan besar. Namun demikian, pelaku UMKM juga memiliki peluang besar untuk tumbuh melalui digitalisasi dan kolaborasi lintas sektor.
Pemerintah telah menggulirkan berbagai program dukungan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), pelatihan kewirausahaan, hingga insentif perpajakan. Selain itu, kerja sama dengan platform digital dan e-commerce menjadi jembatan bagi pelaku usaha kecil untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
“UMKM adalah tulang punggung ekonomi kita. Dalam situasi global yang tidak pasti, mereka terbukti paling tangguh dan adaptif,” ujar Menteri Koperasi dan UKM dalam konferensi pers terbaru.
Meski demikian, sejumlah tantangan masih harus dihadapi, mulai dari akses modal yang terbatas, rendahnya literasi keuangan dan digital, hingga kebutuhan akan peningkatan kualitas produk dan daya saing.
Ke depan, sinergi antara pemerintah, swasta, dan pelaku UMKM sangat dibutuhkan untuk memastikan sektor ini terus berkembang dan berkontribusi secara optimal terhadap kesejahteraan masyarakat dan ketahanan ekonomi nasional.
Manusia Sebagai Khalifah: Antara Amanah Ilahi dan Budaya Pragmatis Kapitalis Dalam dinamika kehidupan modern yang serba cepat dan berorientasi pada hasil, muncul pertanyaan mendasar: apakah manusia masih memahami dan menjalankan peran sejatinya sebagai khalifah fil ard (wakil Allah di bumi)?
Konsep khalifah pertama kali diangkat dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, ketika Allah menyampaikan kepada para malaikat niat-Nya untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi. Para malaikat merespons dengan kekhawatiran: Apakah Engkau hendak menjadikan di dalamnya orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah? Sebuah kritik tajam terhadap potensi destruktif manusia. Namun Allah menjawab dengan tegas, “Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Penafsiran ulama klasik dan kontemporer menyebut bahwa manusia diciptakan dengan potensi paling sempurna, dilengkapi dengan akal dan ilmu yang tidak dimiliki oleh malaikat sekalipun. Allah mengajarkan Adam nama-nama benda, sebagai simbol dimulainya peradaban berbasis ilmu, bukan hanya insting atau kekuatan.
Namun, dalam praktik kehidupan modern, sistem yang berkembang justru kerap menjauh dari nilai-nilai tersebut. Budaya pragmatis, yang menilai segala sesuatu dari segi kegunaan dan keuntungan semata, telah menjadi ciri khas dari sistem kapitalisme global. Manusia tak lagi bertindak sebagai penjaga bumi, tetapi sebagai eksploitatif atasnya—menciptakan kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan degradasi nilai moral.
“Khalifah berarti bukan hanya pemimpin, tapi pemelihara, penata, dan penjaga harmoni. Sayangnya, sistem hari ini seolah menjadikan manusia hanya sebagai roda dalam mesin produksi,” kata Dr. Ahmad Luthfi, dosen pemikiran Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sementara itu, dalam tatanan ilahiah, Allah telah menciptakan sistem yang menyeluruh. Legislatif-Nya adalah syariat; eksekutif-Nya berjalan melalui sunatullah; dan semua mekanisme kehidupan berputar secara mandiri sesuai aturan-Nya. Inilah sistem yang harmonis, bukan berbasis kepentingan sesaat.
Saat dunia modern kian dikendalikan oleh algoritma dan pasar, pertanyaan besar pun muncul: Apakah manusia masih sadar akan posisinya sebagai khalifah atau justru telah menyerahkan diri pada budaya yang menjadikan keuntungan materi sebagai satu-satunya tujuan? Perlu ada refleksi bersama, agar manusia tidak hanya cerdas dalam ilmu, tetapi juga bijak dalam menjalankan tugas sucinya: membangun bumi dengan nilai keadilzan, kebenaran, dan keberlanjutan.
– post by ; Ariz Abiyyu, Fani Ramadhan, Ushwatun Hasanah