Jakarta – Psikiater Mintarsih memberikan pandangannya terkait kontroversi yang melibatkan Gus Miftah, setelah video dirinya menghujat seorang pedagang es dan pesinden Yati viral di media sosial. Dalam video tersebut, aksi Gus Miftah yang dianggap sebagai candaan menuai kecaman dari netizen.
“Kalau dilihat dari video itu, sepertinya sudah jadi kebiasaan. Mungkin bagi dia lucu, tapi bagi orang yang diledek tidak. Efeknya pada orang yang diledek juga tidak dilihat,” kata Mintarsih.
Kebiasaan yang Dipengaruhi Lingkungan
Mintarsih menilai perilaku Gus Miftah bisa jadi merupakan kebiasaan yang terbentuk oleh lingkungannya. “Itu jelas suatu kebiasaan dari dirinya. Mungkin itu dikembangkan dan didukung oleh lingkungan sekitar yang ikut tertawa. Tapi ketika orang di sekitarnya menganggap itu lelucon, Gus itu cenderung melihatnya sebagai hal yang normal, meski sebenarnya sudah menjadi bentuk kekerasan,” jelasnya.
Apakah Kebiasaan Ini Bisa Berubah?
Terkait kemungkinan perubahan sikap, Mintarsih optimistis bahwa kecaman dari publik bisa menjadi momen refleksi bagi Gus Miftah.
“Melihat dia mendapat kecaman netizen, saya pikir itu akan merubah sikapnya. Dia akan lebih berhati-hati ke depannya. Dengan adanya kecaman, situasinya tentu berbeda,” tambah Mintarsih.
Dampak pada Korban Ejekan
Mintarsih juga menyoroti dampak psikologis bagi korban ejekan. “Untuk orang yang diejek, kita perlu melihat sifat mereka. Jika dia orang yang perasa, kemungkinan besar dia tidak bisa berbuat apa-apa dan akan merasa tersakiti. Tapi jika dia orang yang tegar, dia akan menganggap itu sebagai risiko pekerjaan,” katanya.
Kontroversi ini menjadi sorotan banyak pihak, termasuk para pemerhati psikologi, yang menilai pentingnya memahami dampak psikologis dari candaan yang berlebihan. Kejadian ini diharapkan dapat menjadi pelajaran untuk semua pihak agar lebih bijak dalam bertindak, terutama di ruang publik.