Keputusan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hanya untuk barang mewah tampak seperti langkah bijak. Namun, jika ditelisik lebih dalam, kebijakan ini justru membuka ruang diskusi lebih luas: apakah ini solusi jitu atau hanya langkah sementara yang tidak menyentuh akar masalah ekonomi?
Pro-Rakyat atau Populis?
Kebijakan ini memang disambut baik masyarakat. Barang kebutuhan pokok tetap bebas dari kenaikan PPN, sehingga daya beli rakyat kecil terlindungi. Pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada mayoritas, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Namun, hanya mengandalkan barang mewah sebagai sumber penerimaan tambahan menimbulkan keraguan akan efektivitasnya.
Siapa yang Benar-Benar Terdampak?
Kategori barang mewah mencakup jet pribadi, yacht, kapal pesiar, hingga properti bernilai tinggi. Jumlah konsumennya sangat terbatas, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan negara bisa jadi minim. Jika demikian, apakah langkah ini benar-benar berdampak signifikan? Atau sekadar simbolis demi menarik simpati publik?
Tantangan Pengawasan
Definisi barang mewah juga menjadi tantangan. Tanpa pengawasan ketat, kebijakan ini bisa menyisakan celah bagi pihak tertentu untuk menghindari kewajiban pajaknya. Transparansi dan pengendalian sangat dibutuhkan agar tujuan awal kebijakan tidak meleset.
Harapan untuk Masa Depan
Langkah ini patut diapresiasi, tetapi perlu diikuti dengan reformasi perpajakan yang lebih komprehensif. Pajak bukan hanya soal angka; ia adalah alat untuk menciptakan keadilan sosial. Jika pemerintah benar-benar ingin mendorong ekonomi yang inklusif, kebijakan ini harus menjadi awal dari perbaikan sistem yang lebih luas.
Kita berharap kebijakan ini tidak berhenti di langkah populis semata, tetapi menjadi bagian dari strategi besar untuk memastikan bahwa semua pihak, baik masyarakat kecil maupun kalangan atas, berkontribusi adil terhadap pembangunan bangsa.
Ditulis oleh: Erlidha Catur Difayanti, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Program Studi Administrasi Publik