“Benar dan salah itu seperti rasa, bisa berubah tergantung siapa yang sedang ‘membayar’ pandangan, pembelaan dari orang-orang terdekat, serta hubungan dan rasa hormat dari lingkaran sosial. Uang memang ajaib, bahkan bisa mengubah keyakinan menjadi oportunisme dan mengikis nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi.”
Sebagai seorang pengamat yang mengikuti perkembangan sejumlah kasus sengketa properti, hati saya kembali terusik oleh sebuah cerita yang menggambarkan betapa sulitnya perjuangan mencari keadilan, bahkan ketika proses hukum tengah berjalan. Kali ini, sorotan tertuju pada sebuah keluarga yang tengah gigih memperjuangkan haknya atas sebuah bangunan yang menurutnya telah dilelang secara tidak semestinya.
Bayangkan kepedihan seorang ibu yang harus berhadapan dengan kekuatan besar institusi perbankan, kantor lelang negara (KPKNL), dan bahkan badan pertanahan. Gugatan perdata yang ia ajukan adalah luapan dari ketidakadilan yang dirasakannya. Rumah yang seharusnya bernilai miliaran rupiah, tiba-tiba berpindah tangan melalui proses lelang dengan harga yang jauh di bawah perkiraan, hanya sebagian kecil dari nilai sebenarnya. Menurut informasi yang saya himpun, proses lelang ini diselimuti ketidakjelasan dan dugaan adanya campur tangan pihak-pihak lain. Tentu, sebagai orang awam, kita sulit membayangkan betapa frustrasinya menghadapi situasi seperti ini, di mana aset berharga yang mungkin menjadi tumpuan hidup, tiba-tiba terlepas dengan cara yang dipertanyakan.
Ironi dalam kasus ini terasa begitu pahit dan berlapis. Di tengah perjuangan seorang ibu mencari keadilan di ruang pengadilan, para anak kost justru menyatakan ketidakpedulian mereka terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Namun, kontradiksi mencuat ketika tersiar kabar bahwa beberapa di antara mereka katanya sampai bertanya kepada tujuh pengacara berbeda, sebuah tindakan yang jelas menunjukkan keterlibatan aktif, alih-alih sikap acuh tak acuh. Lebih menyakitkan lagi, ketika penjelasan mengenai situasi sulit yang dihadapi pemilik kost diberikan, respons yang diterima justru penolakan dan tuntutan tunggal: air harus mengalir, seolah mengabaikan akar permasalahan yang lebih dalam. Bahkan, pengorbanan anak ibu kost yang memilih untuk menunda pendidikannya demi membantu mengatasi masalah para penghuni, seolah tak berbekas. Namun, ironi mencapai puncaknya bukankah ini justru menggambarkan betapa tidak tahu dirinya sebagian penghuni kost, yang hanya peduli pada kepentingan sesaat tanpa menghiraukan pengorbanan dan kesulitan orang lain yang telah menyediakan tempat tinggal bagi mereka, dan juga saya saksi pertemuan oknum-oknum dengan pihak pemilik kost, kenapa pemilik kost dituduh melakukan provokator dalam grup kost, apakah artinya ada musuh dalam selimut ? Di tengah situasi yang absurd ini, intimidasi dan provokasi terhadap penghuni lain yang mungkin bersimpati pada pemilik kost semakin memperkeruh suasana, menciptakan ketidaknyamanan.
Di tengah upayanya yang tulus menyediakan hunian layak dan terjangkau, hati seorang ibu pemilik kost kini terluka dan terancam oleh tindakan para penghuni yang justru berbalik mengancam dan menuduhnya dengan keji. Lebih dari sekadar kehilangan mata pencaharian yang menjadi tumpuan hidupnya, ancaman ini merenggut harapan buah hati sang pemilik kost untuk melanjutkan pendidikan tinggi, sebuah mimpi yang kini terbayang pupus akibat keegoisan dan fitnah yang disebarkan. Sungguh ironis, ketika pihak luar yang tidak memahami duduk permasalahan justru turut memperkeruh suasana, alih-alih mendukung seorang ibu yang tengah berjuang mempertahankan kehidupannya dan masa depan anak-anaknya dari kesewenang-wenangan dan tuduhan tak berdasar. Bukankah seharusnya kita berpihak pada keadilan dan kemanusiaan, membela seorang ibu yang terdzalimi dan anak-anaknya yang terancam masa depannya, daripada membiarkan kebohongan dan kebencian merajalela? Mungkin tulisan saya hanya berfokus ke keluarga pemilik kost, karena kami memiliki bukti-bukti yang akurat, bahkan rekaman suara maupun video ada.
Sungguh ironis dan menyakitkan ketika saya dan tim mendengar kabar bahwa ada pihak penghuni kost ingin melaporkan ibu dan anak pemilik kost ke pihak berwajib, dan juga adanya ancaman ingin main hakim sendiri, bahkan dari pihak penghuni lain juga mengatakan WAJAR. Apakah berarti NYAWA MANUSIA TIDAK ADA HARGANYA, UNTUK YANG LUPA ATAU TIDAK PERNAH MENDENGAR BERITA pada 6 Juni 2024 bos rental tewas di massa, tanggal 2 (dua) mei 2023 di Sukabumi 10 orang menjadi TERSANGKA karena main hakim sendiri dan mengakibatkan sang korban MENINGGAL DUNIA dan baru di ketahui beberapa waktu kemudian bahwa SANG KORBAN yang di TUDUH MENCURI tidak melakukan pencurian sama sekali. Apakah kalian tidak belajar dari semua kasus main hakim sendiri ? Kebanyakan orang hanya ingin mendengar apa yang mereka mau dengar baik itu benar ataupun salah.
Itikad baik pemilik kost untuk bertanggung jawab atas kebutuhan air, justru tersiar kabar yang mengecewakan, alih-alih menunjukkan timbal balik yang positif, beberapa anak kost dilaporkan enggan membayar kewajiban mereka, bahkan ada yang dikabarkan telah menyatakan keluar namun nyatanya masih menempati kamar. Tindakan ini jelas menunjukkan ketidakjujuran dan penyalahgunaan kepercayaan, menciptakan ketidakadilan yang nyata bagi pemilik kost yang telah berupaya memenuhi tanggung jawabnya. Bagaimana mungkin kita menuntut hak tanpa memenuhi kewajiban? Bagaimana mungkin mencari-cari kesalahan orang lain bahkan persoalan dimasa lalu yang tidak diketahui benar/tidaknya kabar tersebut, sementara kita sendiri tidak berintegritas? Lebih jauh lagi, hilangnya empati terlihat jelas dalam ketidakpedulian terhadap kesulitan yang dihadapi pemilik kost dan keluarganya. Dan yang tak kalah penting untuk direnungkan adalah menjaga lisan; tuduhan tak berdasar dan kata-kata kasar hanya akan memperkeruh suasana dan melukai hati. Kebenaran harus ditegakkan, dan sangat jelas bahwa ada pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi, mengabaikan etika dan rasa hormat kepada pemilik kost yang seharusnya mereka hargai. Ini bukan lagi sekadar masalah air, tetapi masalah fondasi moral yang seharusnya menjadi landasan interaksi sosial kita: kejujuran dalam bertindak, tanggung jawab atas kewajiban, empati dalam merasakan, dan kebijaksanaan dalam menjaga lisan. Mari kita renungkan, tindakan siapa yang sebenarnya mencerminkan itikad tidak baik dalam situasi ini?
Saya berharap, semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan, sungguh ironis jika di negara yang menjunjung tinggi hukum, masih terjadi tindakan-tindakan yang justru merusak esensi dari keadilan itu sendiri. Sebagai seorang yang menyaksikan dari luar, hati saya iba melihat keluarga ini berjuang, dan saya harap para penghuni kost untuk memakai akal sehat, karena apa yang kalian bicarakan dan takutkan, saya bersama beberapa teman menjadi saksi perjuangan pemilik kost untuk membuktikan bahwa ini hanya AKAL-AKALAN dan semua hanya karena UANG. Semoga artikel ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa keadilan harus diperjuangkan tanpa intimidasi dan gangguan dari pihak manapun. Mari kita kawal bersama agar setiap warga negara dapat merasakan keadilan yang sesungguhnya.
Kisah ini sekali lagi mengingatkan kita bahwa mencari keadilan di negeri ini seringkali tidaklah mudah. Proses hukum yang seharusnya menjadi pelindung terakhir bagi warga negara, terkadang harus dihadapkan pada tantangan dari pihak-pihak yang mungkin memiliki kepentingan lain. Saya berharap, melalui proses persidangan yang sedang berjalan, kebenaran akan terungkap dan keadilan akan berpihak pada ibu yang sedang berjuang ini. Lebih dari itu, saya juga berharap agar pihak-pihak yang melakukan gangguan dapat menghentikan tindakannya dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.