Jakarta – Meski perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang dipicu kebijakan tarif Presiden Donald Trump beberapa tahun lalu sempat mengguncang perdagangan global, sektor pertanian Indonesia justru menemukan peluang baru untuk berkembang. Komoditas perkebunan nasional bahkan diprediksi akan semakin menguat dalam ekspor global. Hal ini disampaikan oleh Dr. Kuntoro Boga, Kepala Pusat Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP), Perkebunan, Kementerian Pertanian, di Jakarta, Senin (29/4).
“Situasi global ini menjadi momentum strategis bagi sektor perkebunan kita,” ujar Kentoro. “Meskipun perang tarif menyebabkan ketidakpastian global, Indonesia, khususnya untuk komoditas perkebunan seperti sawit, kopi, kakao, kelapa, dan rempah-rempah, justru bisa memperluas pangsa pasar internasional.”
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022, produksi kelapa Indonesia mencapai 17,19 juta ton, sedangkan produksi minyak kelapa sawit (CPO) melampaui 45 juta ton per tahun. Dengan kontribusi sekitar 59% dari total produksi sawit dunia, Indonesia mempertahankan posisinya sebagai eksportir sawit terbesar dengan nilai ekspor mencapai US$22,7 miliar pada 2023 (fas.usd.gov).
Tak hanya sawit, komoditas lain seperti kopi dan kakao juga mencatat kinerja positif. Produksi kopi Indonesia mencapai 793 ribu ton pada 2022, dengan nilai ekspor lebih dari US$1,1 miliar. Di sektor kakao, produksi nasional sebesar 728 ribu ton pada 2021 menjadikan Indonesia produsen terbesar ketiga dunia (FAO.org). Di segmen rempah, Indonesia masih menguasai pasar global, terutama pala dan lada.
“Selain sektor pangan, sektor energi berbasis sawit juga menunjukkan geliat positif,” tambah Kuntoro. “Pada 2022, produksi biodiesel sawit Indonesia mencapai lebih dari 11 juta kiloliter, sebagian di antaranya diekspor ke Tiongkok.”
Dampak Perang Dagang dan Pergeseran Rantai Pasok
Kentoro menjelaskan, sejak 2018, ketegangan dagang AS-Tiongkok telah memicu perubahan besar dalam rantai pasok global. Pengenaan tarif tambahan 25% terhadap impor kedelai AS menyebabkan penurunan volume perdagangan kedelai ke Tiongkok hingga hampir 50%. Akibatnya, Tiongkok meningkatkan impor minyak sawit sebagai substitusi minyak kedelai.
“Bagi Indonesia, fenomena trade diversion ini menciptakan peluang besar. Saat kedelai dari AS berkurang, Indonesia sebagai produsen utama minyak sawit langsung mengisi kebutuhan di pasar Tiongkok,” kata Kuntoro. Pada 2019 saja, impor sawit Tiongkok mencetak rekor 7,6 juta ton (mpoc.org.my).
Lebih lanjut, baik AS maupun Tiongkok kini lebih selektif dalam mengandalkan mitra dagang, membuka peluang ekspansi pasar bagi negara lain, termasuk Indonesia.
Ekspor Semakin Prospektif
Menurut Kuntoro, tergesernya sebagian produk Amerika dan Tiongkok dari pasar global membuka jalan bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor. Komoditas seperti minyak sawit, kopi, olahan kelapa, kakao, dan rempah-rempah mendapat permintaan baru dari negara-negara yang mulai mengurangi ketergantungan terhadap produk AS atau Tiongkok.
“Data perdagangan menunjukkan peningkatan pangsa pasar ekspor Indonesia selama periode memanasnya perang tarif,” ujarnya.
Fleksibilitas Pasar dan Diversifikasi Jadi Kunci
Ada tiga alasan utama mengapa sektor perkebunan Indonesia tetap kuat dalam ketidakpastian global, menurut Kentoro.
Pertama, fleksibilitas pasar Indonesia yang tinggi. “Ketika Uni Eropa memperketat impor biodiesel sawit, kita dengan cepat mengalihkan ekspor ke Tiongkok dan negara lain,” katanya.
Kedua, diversifikasi pasar ekspor yang luas, tidak bergantung pada satu negara. “Selain AS, kita punya pasar kuat di India, Pakistan, China, dan Timur Tengah.”
Ketiga, tren kenaikan harga komoditas dunia. “Harga tinggi memberikan insentif bagi petani dan pelaku usaha untuk meningkatkan produksi,” tambahnya.
Dorongan untuk Produksi Nasional dan Swasembada
Peluang ekspor yang lebih besar berdampak langsung pada produksi dalam negeri. Menurut Kentoro, keuntungan dari ekspor mendorong program intensifikasi dan replanting perkebunan, terutama di sektor sawit.
“Ketika harga komoditas membaik, petani lebih bergairah berinvestasi. Ini mendukung keberlanjutan produksi nasional dan mempercepat upaya swasembada, seperti di sektor gula,” jelasnya.
Program peremajaan kebun rakyat, kata Kentoro, menjadi sangat penting untuk menjaga keberlanjutan pasokan CPO di masa depan, sekaligus memperkuat ketahanan pangan dan energi nasional.
Menutup pernyataannya, Kuntoro menekankan bahwa kunci utama menjaga momentum positif ini adalah adaptasi dan diversifikasi berkelanjutan.
“Kita perlu mempercepat hilirisasi produk perkebunan, meningkatkan standar kualitas, memperluas pasar baru melalui diplomasi perdagangan, dan terus berinovasi dalam teknologi pertanian. Dengan langkah strategis ini, Indonesia bukan hanya bertahan, tapi menjadi pemain utama di perdagangan global baru,” pungkasnya.