Jakarta, 30 April 2025 — Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa yang berlangsung sejak 2018 telah mengubah lanskap perdagangan internasional secara signifikan. Kebijakan tarif yang saling diberlakukan oleh negara-negara tersebut memicu pergeseran rantai pasok dan membuka peluang bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk mengisi kekosongan pasar yang ditinggalkan.
Sektor perkebunan Indonesia, dengan komoditas unggulannya seperti kelapa, kelapa sawit, kopi, kakao, tebu, rempah-rempah, dan biodiesel, berada pada posisi strategis untuk memanfaatkan dinamika ini.
“Perang dagang global membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat sektor perkebunan sebagai pilar ekonomi nasional,” ujar Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian. “Dengan memanfaatkan peluang ekspor, meningkatkan produktivitas, dan mendorong swasembada, sektor perkebunan dapat menjadi motor penggerak kesejahteraan petani dan ketahanan ekonomi Indonesia di masa depan.”
Data menunjukkan bahwa produksi kelapa Indonesia pada 2022 mencapai 2,87 juta ton, sementara kelapa sawit mencapai 45,58 juta ton. Produksi kopi dan kakao masing-masing mencapai 794,8 ribu ton dan 650,6 ribu ton. Produksi tebu mencapai 2,4 juta ton, meskipun masih di bawah kebutuhan gula konsumsi nasional sekitar 3,2 juta ton. Produksi biodiesel mencapai 11,8 juta kiloliter pada tahun yang sama.
Perang dagang AS-Tiongkok telah menyebabkan penurunan signifikan dalam perdagangan kedelai antara kedua negara. China, sebagai importir utama kedelai AS, mengurangi impor kedelai dari AS sebesar 94% pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Akibatnya, China mencari alternatif sumber minyak nabati, termasuk minyak kelapa sawit dari Indonesia. Pada 2019, impor minyak sawit China mencapai rekor tertinggi 7,6 juta ton.
Indonesia juga mengalami peningkatan ekspor biodiesel, dengan volume ekspor mencapai 419 ribu kiloliter pada 2022. Ekspor kopi Indonesia mencapai 434,19 ribu ton dengan nilai USD 1,13 miliar pada 2022, sementara ekspor kakao mencapai USD 1,19 miliar.
“Peningkatan ekspor dan harga komoditas memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitas,” kata Kuntoro. “Sementara untuk sawit, program peremajaan sawit rakyat (PSR) menjadi kunci untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan sektor sawit.”
Namun, realisasi program PSR masih jauh dari target. Pada tahun 2022, realisasi PSR hanya mencapai 17.908 hektare atau sekitar 9,8% dari target tahunan seluas 180.000 hektare. Meskipun demikian, terdapat peningkatan pada tahun 2023 dengan realisasi mencapai 52.582 hektare atau sekitar 29,2% dari target tahunan.
Di sektor tebu, upaya swasembada gula dapat didorong melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi. Produksi gula kristal putih (GKP) Indonesia pada tahun 2022 tercatat sebesar 2,41 juta ton, naik 13,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, produksi ini masih di bawah kebutuhan konsumsi nasional sekitar 3,2 juta ton. Untuk mencapai swasembada, diperlukan peningkatan luas areal tanam dan produktivitas melalui penggunaan varietas unggul dan teknologi budidaya yang efisien.
Pemerintah perlu mendukung petani melalui akses pembiayaan, teknologi, dan pasar. Diversifikasi produk dan hilirisasi juga penting untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk perkebunan Indonesia di pasar global. Sebagai contoh, ekspor kakao Indonesia pada tahun 2022 mencapai 385.981 ton dengan nilai USD 1,26 miliar, di mana 94,96% berupa produk olahan seperti mentega, lemak, dan minyak kakao. Hal ini menunjukkan potensi besar dalam hilirisasi produk perkebunan untuk meningkatkan nilai ekspor.
“Untuk mewujudkan potensi tersebut, diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan petani dalam mengembangkan sektor pertanian yang berkelanjutan dan berdaya saing,” ujar Kuntoro. “Dengan dukungan kebijakan yang tepat, akses pembiayaan, dan adopsi teknologi modern, sektor perkebunan Indonesia dapat menjadi pilar utama dalam peningkatan devisa, pembangunan ekonomi nasional, dan kesejahteraan petani.”