Sorak-sorai mahasiswa kembali menggema di depan Gedung DPR/MPR RI, pertanda bahwa demokrasi Indonesia masih hidup dan tumbuh. Namun, di balik semangat itu, tersimpan kekhawatiran yang mendalam: apakah bangsa ini masih cukup kuat memelihara persatuan ketika kebebasan berekspresi justru mengundang friksi sosial?
Demonstrasi yang digelar pada Maret 2025 terkait penolakan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menyoroti kekhawatiran publik terhadap potensi kembalinya peran ganda militer dalam kehidupan sipil. Isu ini mengemuka bersamaan dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap berbagai persoalan sosial—dari ketimpangan ekonomi, konflik agraria, hingga krisis kepercayaan terhadap lembaga negara.
Di tengah situasi ini, penting untuk kembali menengok esensi dari wawasan kebangsaan. Bukan sekadar wacana akademik dalam ruang kelas Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), melainkan landasan sikap hidup bangsa yang mendasari bagaimana rakyat Indonesia memandang diri dan lingkungannya secara utuh, menyeluruh, dan integral.
Teori Wawasan Nusantara sebagai salah satu pilar pemikiran kebangsaan Indonesia menawarkan kerangka berpikir bahwa bangsa Indonesia harus memandang wilayahnya sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Dalam konteks ini, demonstrasi dan kritik terhadap kebijakan pemerintah sejatinya adalah bentuk partisipasi warga negara dalam menjaga negaranya—selama dilakukan dengan damai dan bertanggung jawab.
Namun, jika tidak dikelola dengan nilai-nilai kebangsaan yang kuat, perbedaan pendapat justru bisa berkembang menjadi konflik horizontal. Di sinilah pentingnya menanamkan kembali nilai-nilai wawasan kebangsaan, khususnya kepada generasi muda.
Seperti yang diungkapkan Widisuseno dan Sudarsih (2019) dalam penelitiannya Penguatan Wawasan Kebangsaan sebagai Upaya Pencegahan Paham Radikalisme dan Intoleransi di Kalangan Pelajar, pelajar yang diberikan pemahaman mendalam tentang kebangsaan lebih mampu menolak ajakan radikal dan mempertahankan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sosial.
Penurunan kualitas wawasan kebangsaan bukanlah isapan jempol. Penelitian yang dirilis Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) menunjukkan bahwa intoleransi, konflik SARA, dan meningkatnya ujaran kebencian di media sosial adalah indikator lemahnya kesadaran kebangsaan. Fenomena ini dapat menjadi ancaman serius terhadap integrasi nasional jika tidak ditanggulangi sejak dini.
Di sisi lain, Utomo dan Salhefni (2019) dalam jurnal mereka Wawasan Kebangsaan dalam Kerangka NKRI menekankan bahwa wawasan kebangsaan adalah fondasi utama dalam menjaga keutuhan NKRI di tengah terpaan globalisasi dan derasnya arus informasi.
Dalam konteks ini, peran pendidikan, media, serta tokoh masyarakat menjadi sangat krusial. Ketika media massa justru memperuncing perbedaan atau menyebarkan informasi tidak akurat, nilai-nilai kebangsaan semakin tergerus. Oleh karena itu, ekosistem informasi dan ruang publik harus dibentuk dengan semangat kebangsaan yang inklusif dan berpijak pada nilai-nilai dasar Pancasila.
Demokrasi memang mensyaratkan kebebasan, tetapi kebebasan tanpa landasan kebangsaan dapat menjadi boomerang bagi persatuan. Di tengah gejolak sosial politik hari ini, memperkuat wawasan kebangsaan adalah satu-satunya jalan agar Indonesia tetap menjadi rumah bersama bagi seluruh warganya.
Bukan hanya pemerintah yang memikul beban ini, tetapi setiap warga negara—terutama generasi muda—yang kelak akan memegang tongkat estafet perjalanan bangsa.
Referensi
Widisuseno, A., & Sudarsih, S. (2019). Penguatan Wawasan Kebangsaan sebagai Upaya Pencegahan Paham Radikalisme dan Intoleransi di Kalangan Pelajar. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan.
Utomo, T., & Salhefni, S. (2019). Wawasan Kebangsaan dalam Kerangka NKRI. Jurnal Ketahanan Nasional.
Lembaga Ketahanan Nasional (2021). Penguatan Nilai-Nilai Kebangsaan dalam Konteks Ketahanan Nasional. Jurnal Lemhannas RI.