ASAHAN, SUMATERA UTARA — Jamur Ganoderma dikenal luas sebagai penyebab penyakit busuk pangkal batang (Basal Stem Rot/BSR). Gejalanya sulit terdeteksi pada tahap awal, karena infeksi baru tampak setelah dua hingga tiga tahun menjalar. Di lahan petani yang dua hektare kebun sawitnya dulu mampu menghasilkan hingga 24 ton tandan buah segar (TBS) per hektare per tahun. Kini, hasil panen anjlok drastis menjadi hanya 2,4 ton. Penyebab utamanya adalah jamur Ganoderma boninense, musuh dalam diam yang menggerogoti akar dan batang sawit. “Pada 2023, lebih dari 170 ribu hektare kebun sawit di Indonesia terdampak Ganoderma, dengan tingkat kematian pohon mencapai 80 persen di beberapa daerah seperti Asahan,” ungkap Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian, saat ditanyakan via telepon, Senin (6/5).
Kuntoro menambahkan, petani kecil berada di garis depan ancaman ini. Sekitar 41 persen lahan sawit nasional dikelola petani mandiri, namun mereka kerap kekurangan akses terhadap informasi, modal, dan teknologi pencegahan. “Biaya untuk sanitasi lahan dan aplikasi agen hayati seperti Trichoderma bisa mencapai Rp17 hingga 20 juta per hektare per tahun. Ini berat bagi petani kecil,” jelasnya. Di sisi lain, penggunaan bibit unggul tahan Ganoderma masih minim, hanya sekitar 15 persen, utamanya karena harga bibit bersertifikat dua kali lipat lebih mahal dari bibit biasa.
Langkah Solutif: Riset, Edukasi, dan Kolaborasi
Menghadapi tantangan serius ini, Kuntoro menekankan perlunya strategi penanganan Ganoderma yang komprehensif dan terkoordinasi. Pertama, pemerintah perlu mempercepat riset dan pengembangan varietas kelapa sawit tahan Ganoderma yang dapat segera disalurkan kepada petani. “Distribusi bibit unggul harus menjangkau petani dengan harga terjangkau, melalui skema subsidi atau pembiayaan yang tepat,” ujarnya.
Ia juga mendorong pemanfaatan agen hayati seperti Trichoderma sp. dan Gliocladium sp., yang telah terbukti efektif meningkatkan ketahanan tanaman. “Penggunaan bibit yang telah diperlakukan dengan agensia hayati perlu diperluas, karena ini bagian dari solusi jangka panjang berbasis agrobioteknologi,” jelas Kuntoro.
Pendidikan kepada petani juga menjadi elemen penting. Menurutnya, pelatihan mengenai deteksi dini, sanitasi lahan, dan penggunaan agen hayati harus terus diperluas. “Kita perlu memanfaatkan teknologi digital untuk pelatihan dan konsultasi online, agar literasi petani meningkat dan penanganan penyakit ini bisa lebih cepat,” tambahnya.
Sinergi PSR dan Peran Swasta
Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) juga perlu disesuaikan agar lebih ramah bagi petani kecil. Kuntoro menggarisbawahi pentingnya evaluasi dan penyederhanaan syarat administratif, seperti kepemilikan lahan sah dan keanggotaan kelembagaan petani. “Ini sering jadi kendala. Pendampingan teknis dan akses pembiayaan harus diperkuat agar partisipasi petani meningkat,” tegasnya.
Kolaborasi multipihak menjadi kunci. Pemerintah, perusahaan swasta, lembaga penelitian, hingga organisasi petani perlu membentuk kemitraan strategis untuk mendorong inovasi dan transfer teknologi. “Perusahaan besar bisa menyediakan sumber daya dan teknologi, sementara lembaga riset memastikan pendekatan ilmiah yang efektif. Semua harus berjalan bersama,” terang Kuntoro.
Ia menutup pernyataannya dengan harapan: jika strategi-strategi ini dijalankan secara sinergis dan berkelanjutan, maka penyebaran Ganoderma dapat dikendalikan. “Ini bukan hanya soal menyelamatkan pohon, tetapi menyelamatkan mata pencaharian jutaan keluarga petani sawit dan menjaga keberlanjutan industri nasional,” pungkas Kuntoro Boga Andri.