Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak hanya hidup sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang kompleks. Interaksi sosial yang sering terjadi di masyarakat tanpa disadari telah membangun konstruksi makna tentang berbagai hal berdasarkan pemahaman sendiri. Komunikasi yang terus berkesinambungan di antara anggota masyarakat membuat sebuah sistem nilai, kebiasaan, gagasan, atau konsep yang berasal dari pengalaman hidup terus berkembang (Giawa et al., 2018). Menurut Moscovici (dalam Giawa et al., 2018), makna diciptakan dari suatu sistem melalui negosiasi sosial dan bukan sesuatu yang baku atau telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam istilah psikologi sosial, konsep itu disebut dengan Representasi Sosial.
Bagaimana Konsep Representasi Sosial Bisa Terbentuk?
Konsep representasi sosial, pertama kali diperkenalkan oleh psikolog sosial Prancis yaitu Serge Moscovici, ia menggambarkan bagaimana ide, nilai, dan kepercayaan terbentuk, disebarluaskan, dan menjadi bagian dari pemahaman kolektif masyarakat. Moscovici pertama kali memperkenalkan teori representasi sosial dalam psikologi sosial melalui studinya tentang appearance and diffusion dalam lingkup psikoanalisa pada tahun 1950. Teori yang menginspirasi tesis penelitian dari Moscovici ini adalah teori dari Durkheim. Gagasan representasi kolektif yang diperkenalkan oleh sosiolog Prancis Emile Durkheim pada tahun 1898, tidak digunakan lagi selama lebih dari 50 tahun. Menjelang awal tahun 1960-an, Moscovici memperbarui studi tentang konsep tersebut dan menghidupkan kembali teori tersebut (Lange et al., 2012). Serge Moscovici (1961) mencoba menjelaskan konsep representasi sosial dengan mengkritisi ide Durkheim. Menurutnya, konsep Durkheim kurang memperhatikan interaksi antara individu dan kelompok (Rahman, 2022). Oleh karena itu, Moscovici mengusulkan mengganti istilah representasi kolektif dengan representasi sosial, yang cakupannya lebih sempit (Lange et al., 2012). Moscovici secara lebih lanjut mengambil intisari dari berbagai tokoh seperti Freud, dan Vygotsky untuk membentuk sebuah konsep representasi sosial.
Moscovici melakukan beberapa eksperimen penelitian pada teori-teori yang ia kembangkan, salah satunya yang terkenal adalah eksperimen pengaruh minoritas. Tujuan dari eksperimen ini adalah mengetahui dampak minoritas yang konsisten terhadap mayoritas. Prosedur dari eksperimen ini adalah menggunakan kelompok yang terdiri dari satu minoritas (dua orang) dan mayoritas (empat orang) dalam tugas pengenalan warna. Partisipan diminta untuk melihat serangkaian gambar berwarna biru, namun dengan variasi intensitas. Mereka diminta untuk menyebutkan warna gambar tersebut. Dalam kelompok, dua orang yang menjadi bagian dari minoritas dengan sengaja menyebutkan warna gambar sebagai hijau (padahal gambar tersebut biru). Minoritas ini bertujuan untuk mempengaruhi pandangan mayoritas. Meskipun mayoritas awalnya cenderung menyebut gambar itu berwarna biru, minoritas ini berhasil mempengaruhi sebagian besar partisipan untuk menyebutkan gambar tersebut sebagai hijau, meskipun hanya sebagian kecil yang akhirnya sepenuhnya setuju dengan minoritas. Penemuan dari eksperimen ini dapat dihubungkan dengan teori representasi sosial, yaitu:
1. Representasi sosial suatu kelompok dapat mempengaruhi representasi sosial kelompok lain. Perubahan tersebut juga bisa terjadi dikarenakan representasi sosial tidak bersifat kaku, tetapi menyesuaikan.
2. Representasi sosial terbentuk dari sebuah komunikasi yang terjalin, baik itu antara individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok.
3. Representasi sosial adalah hasil dari interaksi antara individu dan kelompok, di mana minoritas dapat memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan pandangan dan norma sosial yang lebih luas.
Selama konsep atau teori representasi sosial terbentuk, banyak peneliti-peneliti lain yang terus mengembangkan dan menggunakannya. Dimulai dari pertengahan tahun 1980-an, di mana teori representasi sosial mulai berkembang pesat di Prancis dan Eropa. Salah satu penelitian yang dikenal adalah penelitian dari Denise Jodelet (1989) yang berjudul “Madness and Social Representations”. Penelitian ini mempelajari bagaimana masyarakat Prancis memahami dan merepresentasikan penyakit mental. Jodelet menyelidiki bagaimana masyarakat memandang dan memahami penyakit mental dalam konteks kehidupan sehari-hari. Penelitian ini berfokus pada komunitas pedesaan di Prancis, yang menjadi tuan rumah bagi pasien penyakit mental yang dirawat di rumah penduduk setempat (fenomena yang dikenal sebagai placement familial atau penempatan keluarga). Metode penelitian yang digunakan adalah 1) Wawancara dengan penderita penyakit mental dan keluarga mereka; 2) Analisis data dari survei dan kuesioner; 3) Studi kasus tentang representasi sosial penyakit mental dalam media dan sastra. Penelitian yang dilakukan Jodelet (1989) memiliki temuan utama, yaitu representasi sosial yang kompleks pada kesehatan mental bahwa penyakit mental tidak hanya dipahami secara medis tetapi juga dilihat melalui lensa budaya, kepercayaan lokal, dan prasangka. Lalu pasien seringkali dipersepsikan sebagai “berbeda” atau “berbahaya,” meskipun mereka telah hidup berdampingan dengan masyarakat selama bertahun-tahun. Terakhir adalah representasi sosial tentang penyakit mental seringkali dipengaruhi oleh mitos, stereotip, dan ketidaktahuan serta representasi sosial penyakit mental mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap penderita. Hal ini memperkuat marginalisasi dan memperlambat inklusi sosial pasien. Penelitian ini membuka jalan untuk memahami pentingnya de-stigmatisasi dan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dalam menangani isu-isu kesehatan mental. Melalui karya ini, Jodelet memperluas teori representasi sosial Serge Moscovici dan menunjukkan bagaimana konsep ini dapat diterapkan untuk menganalisis masalah sosial yang kompleks.
Apa Itu Representasi Sosial?
Representasi sosial menurut Moscovici (dalam Giawa et., 2018) merupakan suatu pendekatan yang hendak memberi gambaran bagaimana suatu konsep atau gagasan dipahami, diyakini, dan dijalankan oleh suatu kelompok sosial. Representasi sosial juga bisa diartikan sebagai cara masyarakat memahami dan mengartikan dunia di sekitar mereka. Moscovici (1973) juga mendefinisikan representasi sosial adalah suatu sistem nilai, ide, dan praktik yang berfungsi untuk membantu individu memahami dan mengatur lingkungan material serta sosial di sekitarnya. Selain itu, representasi sosial juga mempermudah komunikasi antar anggota masyarakat dengan menyediakan aturan dan norma untuk berinteraksi. Sistem ini membantu mengidentifikasi serta mengelompokkan berbagai aspek dari lingkungan dan sejarah, baik bagi individu maupun kelompok (Moscovici, 1973).
Moscovici berpendapat bahwa representasi sosial bukanlah hasil dari seluruh masyarakat secara umum, melainkan berasal dari kelompok-kelompok sosial yang membentuk masyarakat itu sendiri. Ia menekankan pentingnya proses komunikasi dalam memahami bagaimana representasi sosial muncul dan menyebar (Lange et al., 2012). Namun, representasi sosial tidak hanya terbentuk dari sebuah komunikasi dengan berdiskusi, melalui suatu media perantara, dan pendidikan, tetapi juga diwariskan secara turun-temurun melalui budaya. Representasi sosial berfungsi sebagai kerangka bersama yang membantu individu menginterpretasi pengalaman dan menjalin komunikasi dengan orang lain. Selain itu, representasi sosial memberikan kriteria untuk mengevaluasi lingkungan sosial yang memungkinkan penentuan, pembenaran, atau legitimasi perilaku tertentu (Lange et al., 2012). Kemudian representasi sosial dalam kelompok dapat memberi identitas bagi individu, namun juga dapat membuat suatu kelompok untuk membeda-bedakan orang yang tidak sesuai dengan nilai atau standar mereka.
Mudahnya, konsep representasi sosial menjelaskan bagaimana kelompok orang secara kolektif menciptakan dan memberikan pemikiran tentang dunia di sekitarnya melalui komunikasi yang terjalin, budaya yang ada, dan interaksi sosial. Atau, bisa juga representasi diartikan sebagai konsep yang menjelaskan bagaimana kelompok sosial membentuk pandangan tentang objek dan konsep di dunia nyata. Perlu diperhatikan juga bahwa representasi sosial tidak bersifat kaku, karena bisa berubah seiring waktu yang bisa dipengaruhi oleh perkembangan budaya serta konteks sosial, seperti nilai dan norma. Selain itu, representasi sosial dapat mempengaruhi sikap, perilaku, dan kebijakan individu. Hal itu karena representasi sosial membentuk manusia untuk melihat dan berinteraksi dengan dunia serta representasi sosial memberikan kerangka kerja yang berharga untuk memahami bagaimana keyakinan dan gagasan bersama membentuk persepsi dan tindakan.
Moscovici (1973) menjelaskan bahwa terdapat dua proses yang terlibat untuk pembentukan representasi sosial, yaitu penahanan/penambatan (anchoring) dan objektifikasi (objectifications) (Meyrizki et al., 2014).
1. Penahanan/Penambatan (Anchoring)
Proses yang mengacu pada pengenalan atau pengaitan suatu objek tertentu dalam pikiran individu. Ini melibatkan bagaimana otak manusia mengenali, memahami, dan mengaitkan suatu objek, peristiwa, atau ide dengan informasi yang sudah ada sebelumnya di dalam ingatan. Mudahnya, ini merupakan proses kognitif di mana konsep atau fenomena baru dikaitkan ke dalam pengetahuan yang sudah ada lebih dulu agar nantinya mudah dipahami. Dengan kata lain, fenomena baru diberi makna dengan mengaitkannya pada sesuatu yang sudah dikenal sebelumnya. Contohnya, ketika pandemi COVID-19 pertama kali muncul, orang mengaitkannya dengan flu karena kedua penyakit ini sama-sama melibatkan gejala seperti demam dan batuk.
2. Objektifikasi (Objectifications)
Proses yang mengacu pada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu objek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit. Contohnya, ketika seseorang mendengar tentang kesadaran lingkungan, mereka mungkin mengubah konsep abstrak ini menjadi bentuk konkret seperti penggunaan produk ramah lingkungan, melakukan penanaman pohon, dan sebagainya. Dengan demikian, ide abstrak tentang kesadaran lingkungan diubah menjadi tindakan nyata yang dapat dipraktikkan.
Terdapat tokoh yang menjelaskan bahwa representasi sosial tidak hanya terdiri dari kumpulan ide atau keyakinan saja, tetapi memiliki dua struktur yang dapat memengaruhi stabilitas dan fleksibilitasnya. Tokoh tersebut adalah Abric (1976), ia mengembangkan struktur representasi sosial terdiri dari central core dan peripheral core.
1. Central core
Pendekatan yang berusaha menjelaskan bagaimana representasi sosial tersusun secara internal. konsep ini menggambarkan bahwa sebuah representasi sosial terdiri dari berbagai elemen kognitif (seperti ide, keyakinan, atau persepsi), tetapi tidak semua elemen memiliki peran atau bobot yang sama. Beberapa elemen sangat penting dan stabil, sementara yang lain lebih fleksibel dan dapat berubah.
2. Peripheral Core
Bagian dari struktur representasi sosial yang lebih fleksibel dan kontekstual dibandingkan dengan elemen inti. Peripheral core lebih fleksibel karena dapat berubah mengikuti tren, pengalaman baru, atau kondisi sosial tertentu. Peripheral core berfungsi untuk mendukung, melindungi, dan menyesuaikan elemen inti agar tetap relevan dalam berbagai situasi sosial yang berubah. Contoh: Dalam pernikahan, ritual atau tradisi (seperti jenis pakaian yang dipakai, makanan saat resepsi) bisa berubah dari satu generasi ke generasi lainnya, namun struktur inti tentang komitmen dan keluarga tetap dipertahankan.
Antara central core dengan peripheral core, keduanya saling melengkapi. Central core memberi koherensi dan makna mendalam pada representasi sosial, sedangkan peripheral core memungkinkan penyesuaian dengan kondisi sosial yang berubah. Hal ini menjelaskan mengapa masyarakat bisa mempertahankan nilai-nilai tertentu sambil tetap beradaptasi dengan tren baru (Lange et al., 2012).
Perlu diketahui juga bahwa terdapat beberapa point yang menjadi alasan keberhasilan penggunaan teori representasi sosial (Lange et al., 2012), yaitu:
1. Sifat Interdisipliner
Teori representasi sosial berhubungan dan dapat ditemukan di berbagai bidang, seperti bidang sosiologi, antropologi, sejarah, geografi, ekonomi, linguistik, kognisi, dan studi yang memiliki hubungan dengan ideologi, sistem simbolik, serta sikap.
2. Semangat Ilmiah
Sejak didirikan oleh Serge Moscovici, banyak karya yang mempresentasikan perkembangan penelitian baru di bidang representasi sosial. Di Prancis, perkembangan teori representasi sosial ini sudah ditandai sejak tahun 1980an dan muncul kira-kira setiap tiga tahun. Menurut sensus yang dilakukan oleh Verges (1996), teori representasi sosial diklaim sebagai salah satu teori psikososial yang paling terkenal dengan lebih dari 2000 artikel.
3. Fleksibilitas Kerangka Konseptual
Teori representasi sosial sebagai sebuah “teori pengetahuan yang dibangun dan dibagikan secara sosial”, teori representasi sosial adalah teori ikatan dimana teori ini mengajarkan kita mengenai bagaimana sebuah ikatan dibangun (Jodelet, 1989)
Dengan sifat interdisipliner, semangat ilmiah yang terus berkembang, dan fleksibilitas kerangka konseptualnya, teori representasi sosial telah membuktikan relevansi dan keberlanjutannya sebagai salah satu teori psikososial yang paling signifikan. Teori ini tidak hanya memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana individu dan kelompok membangun makna bersama, tetapi juga membuka peluang untuk eksplorasi lebih lanjut dalam berbagai bidang ilmu. Hal ini menjadikan teori representasi sosial sebagai landasan yang kokoh dalam memahami dinamika sosial dan perubahan pandangan kolektif dalam masyarakat modern.
Contoh Kasus Representasi Sosial di Masyarakat
Setelah mengetahui bahwa representasi sosial merujuk pada cara masyarakat membentuk pemahaman dan makna bersama terhadap objek, kelompok, atau fenomena tertentu dalam kehidupan sehari-hari, selanjutnya adalah memahami kasus terkait yang ada di masyarakat. Contoh kasus representasi sosial dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah kasus yang banyak ramai di masyarakat saat ini adalah isu-isu mengenai perempuan.
Dalam artikel penelitian yang dilakukan oleh Rahman et al., (2022) dengan judul “The Social Representation of Women in Bukittinggi Government in the Construction of Collective Consciousness”, merupakan sebuah contoh kasus yang dapat diangkat dari representasi sosial terhadap perempuan dalam struktur pemerintahan Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Masyarakat Bukittinggi, yang didominasi oleh nilai-nilai tradisional Minangkabau, seringkali memandang perempuan dalam peran yang lebih terbatas, seperti sebagai ibu rumah tangga dan mengurus keluarga, meskipun dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak perempuan yang terlibat dalam bidang politik dan pemerintahan. Salah satu contoh kasus yang bisa dilihat adalah pemilihan seorang perempuan sebagai anggota legislatif di Bukittinggi. Meskipun representasi sosial terhadap perempuan di dunia politik mulai berkembang, perempuan yang terpilih seringkali menghadapi tantangan berupa stereotip gender, di mana masyarakat masih menganggap perempuan lebih cocok berada di luar panggung politik atau pemerintahan. Dalam hal ini, representasi sosial perempuan yang dominan adalah sebagai pengurus rumah tangga dan penjaga keharmonisan keluarga, yang berperan sebagai pembentuk identitas sosial yang mempengaruhi bagaimana perempuan dipandang dalam konteks publik.
Namun, seiring berjalannya waktu, representasi ini perlahan berubah, terutama dalam kalangan generasi muda yang semakin terbuka terhadap peran perempuan dalam berbagai sektor. Meskipun demikian, banyak perempuan yang terlibat dalam pemerintahan atau politik harus berusaha keras untuk membuktikan kemampuan mereka dan melawan prasangka atau pandangan sosial yang sudah terbentuk dalam masyarakat. Fenomena ini menunjukkan bagaimana representasi sosial perempuan di Bukittinggi, meskipun sedang mengalami perubahan, masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional yang membentuk kesadaran kolektif masyarakat.
Apakah Memahami Representasi Sosial itu Penting?
Lalu, apakah ada manfaat jika kita memiliki pemahaman mengenai representasi sosial? Apakah memahami representasi sosial saat ini menjadi suatu hal yang penting?. Pemahaman tentang representasi sosial membantu kita mengenali bagaimana identitas kolektif terbentuk dan bagaimana hal itu memengaruhi tindakan individu. Dengan memahami mekanisme ini, kita dapat menjadi lebih kritis terhadap informasi yang kita terima, lebih toleran terhadap perbedaan, dan lebih bijaksana dalam menyikapi perubahan sosial.
Sebagai penguatan, terdapat beberapa aspek representasi sosial yang dapat menjadi jawaban dari banyaknya pertanyaan isu-isu sosial (Lange et al., 2012), yaitu:
1. Representasi sosial sebagai teori yang serbaguna, fleksibel, dan mudah beradaptasi
2. Representasi sosial sebagai teori pengetahuan sehari-hari
3. Representasi sosial sebagai keragaman metodologis yang luar biasa
Di era informasi yang bergerak cepat seperti sekarang, representasi sosial menjadi alat penting untuk menganalisis dinamika masyarakat. Bagaimana masyarakat memahami isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, atau teknologi kecerdasan buatan, semuanya dipengaruhi oleh representasi sosial yang ada.
Sumber:
Abric, J.C. (1976). Central System, Peripheral System: Their Functions and Roles in The Dynamics of Social Representation. Papers on Social Representations, 2, 75–78.
Giawa, E. C., Nani, N. (2018). Representasi Sosial Tentang Makna Malu Pada Generasi Muda di Jakarta. Jurnal Psikologi, 17(1), 77-86.
Jodelet, D. (1989). Folie et Representations Sociales. Paris: Presses Universitaires de France.
Jodelet, D. (1989). Madness and Social Representations. University of California Press
Lange, P. A. M. V., Kruglanski, A. W., Higgins, E. T. (2012). Handbook Theories of Social Psychology Volume 2. London: SAGE Publications.
Moscovici, S. (1973). A Social Psychological Analysis. London: Academic Press.
Meyrizki, S. Y., & Pandjaitan, N. (2014). Representasi Sosial Tentang Kota Pada Komunitas Miskin di Perkotaan. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 5(2), 147-158.
Rahman, T. (2022). The Social Representation of Women in Bukittinggi Government in The Construction of Collective Consciousness. HUMANISMA: Journal of Gender Studies, 6(1), 86-100. DOI: http://dx.doi.org/10.30983/humanisme.v6i1.
Verges, P. (1996). Bibliographie des representations sociales. Third International Conference on Social Representations, Aix-en-Provence, September 27–30.