Pernahkah kamu bertanya, kenapa anak-anak zaman sekarang lebih nyaman cerita ke teman daripada ke orang tua mereka? Di era serba digital seperti sekarang, pemandangan remaja yang lebih banyak menghabiskan waktu menatap layar ponsel daripada berbincang dengan keluarga menjadi pemandangan sehari-hari. Lebih memprihatinkan lagi, ketika menghadapi masalah, sosok yang pertama kali dihubungi bukanlah ayah atau ibu, melainkan teman sebaya atau bahkan “curhat” melalui media sosial. Fenomena ini bukan sekadar pergeseran perilaku biasa, melainkan mencerminkan adanya krisis komunikasi dalam institusi keluarga yang seharusnya menjadi benteng pertama dan utama bagi perkembangan sosial-emosional remaja.
Keluarga: Fungsi Ideal vs Realitas
Keluarga, secara ideal, merupakan unit sosial pertama yang memperkenalkan nilai, norma, kasih sayang, dan rasa aman kepada individu. Menurut Friedman (2010) dalam bukunya “Family Nursing: Research, Theory, and Practice“, keluarga memiliki lima fungsi dasar: afektif, sosialisasi, reproduksi, ekonomi, dan perawatan kesehatan. Fungsi afektif—yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan psikologis—seharusnya menjadikan keluarga sebagai tempat paling nyaman untuk berbagi dan mencurahkan perasaan.
Namun realitasnya, penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam “Indeks Ketahanan Keluarga Indonesia” (2022) menunjukkan bahwa hanya 43% remaja Indonesia yang merasa nyaman mendiskusikan masalah pribadi dengan orang tua mereka. Sisanya lebih memilih teman sebaya (37%), media sosial (12%), atau memendam sendiri (8%). Data ini menunjukkan adanya kesenjangan antara fungsi ideal keluarga dengan kenyataan yang dihadapi.
Akar Masalah: Mengapa Remaja “Menghindar”?
Berdasarkan studi longitudinal yang dilakukan oleh Santrock (2019) dalam “Life-Span Development”, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan remaja enggan berkomunikasi dengan orang tua:
• Takut dihakimi: 68% remaja merasa orang tua cenderung menghakimi daripada memahami. “Kalau cerita malah dimarahi” atau “ujung-ujungnya disalahkan” menjadi keluhan yang sering terdengar.
• Kesenjangan generasi: Perbedaan cara pandang antara generasi digital native dan generasi sebelumnya menciptakan jurang pemahaman. Orang tua sering tidak memahami konteks permasalahan yang dihadapi remaja di era digital.
• Sibuk vs Sibuk: Kesibukan orang tua dengan pekerjaan dan kesibukan remaja dengan aktivitas serta dunia digitalnya menciptakan minimnya waktu berkualitas. Penelitian Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan penurunan waktu interaksi keluarga dari rata-rata 3,2 jam per hari pada 2010 menjadi hanya 1,7 jam pada 2023.
• Pola komunikasi otoritatif: Komunikasi satu arah dan direktif masih mendominasi pola pengasuhan di Indonesia. Menurut penelitian Lestari (2020) dalam “Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga”, 57% keluarga Indonesia masih menerapkan pola komunikasi yang cenderung mendikte daripada dialogis.
• Kurangnya keterampilan mendengar aktif: Banyak orang tua yang belum memiliki keterampilan mendengar aktif—kemampuan untuk benar-benar mendengarkan tanpa langsung memberikan solusi atau penilaian.
Dampak Krisis Komunikasi Keluarga
Krisis komunikasi dalam keluarga bukanlah masalah sepele. Kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2021) menunjukkan korelasi yang signifikan antara buruknya komunikasi keluarga dengan berbagai masalah kesehatan mental pada remaja:
• 42% remaja dengan komunikasi keluarga yang buruk menunjukkan gejala depresi, dibandingkan hanya 17% pada remaja dengan komunikasi keluarga yang baik.
• Risiko perilaku berisiko (seperti penggunaan NAPZA dan perilaku seksual berisiko) 2,3 kali lebih tinggi pada remaja dengan komunikasi keluarga yang buruk.
• Kecenderungan isolasi sosial dan kecanduan internet lebih tinggi pada keluarga dengan pola komunikasi tertutup.
Dari perspektif kesejahteraan sosial, fenomena ini berpotensi menciptakan masalah sosial yang lebih luas. Ketika keluarga gagal menjadi sistem pendukung utama, remaja mencari validasi dan dukungan dari sumber lain yang tidak selalu memberikan arahan yang tepat atau bahkan destruktif.
Membangun Komunikasi yang Sehat: Perspektif Kesejahteraan Sosial
Sebagai mahasiswa kesejahteraan sosial, kami melihat pentingnya pendekatan sistemik dalam mengatasi krisis komunikasi keluarga. Beberapa strategi yang dapat diterapkan:
• Pendidikan Keterampilan Pengasuhan: Program seperti Parenting School yang diinisiasi oleh Kementerian Sosial RI berhasil meningkatkan keterampilan komunikasi orang tua hingga 47% berdasarkan evaluasi program tahun 2022.
• Pendekatan Family-Centered Practice: Model intervensi yang menempatkan seluruh anggota keluarga sebagai pusat perubahan, bukan hanya berfokus pada remaja sebagai “masalah”. Dr. Irwanto, pakar kesejahteraan anak dari Universitas Indonesia, menekankan bahwa “intervensi terhadap remaja tanpa melibatkan sistem keluarga hanya akan memberikan solusi sementara” (Irwanto, 2019).
• Menciptakan Safe Space: Keluarga perlu menciptakan ruang aman baik secara fisik maupun psikologis, di mana setiap anggota keluarga dapat mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi. Program PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga) yang dikembangkan oleh KPPPA menunjukkan efektivitas pendekatan ini dalam meningkatkan kualitas komunikasi keluarga.
• Waktu Berkualitas tanpa Gadget: Mengalokasikan waktu khusus tanpa gangguan gadget untuk interaksi keluarga. “Komunikasi yang bermakna membutuhkan kehadiran penuh, baik secara fisik maupun mental,” kata Prof. Sarlito Wirawan Sarwono dalam penelitiannya tentang dinamika keluarga Indonesia (2018).
• Pelatihan Mendengar Aktif: Keterampilan mendengar aktif—mendengarkan dengan empati, tanpa interupsi dan penilaian—perlu dikembangkan oleh setiap anggota keluarga. Hasil penelitian dari Lembaga Demografi UI (2022) menunjukkan bahwa keluarga yang menerapkan teknik mendengar aktif memiliki tingkat konflik 37% lebih rendah.
Penutup: Mengembalikan Fungsi Keluarga di Era Digital
Krisis komunikasi dalam keluarga bukanlah takdir yang tidak bisa diubah. Dengan pendekatan yang tepat dan kesadaran semua pihak, keluarga dapat kembali menjadi tempat pertama dan utama bagi remaja untuk mencurahkan hati dan mencari solusi.
Sebagai calon pekerja sosial, kami melihat urgensi untuk mengembangkan program-program intervensi berbasis keluarga yang tidak hanya berfokus pada remaja sebagai “pihak yang bermasalah”, tetapi melihat dinamika keluarga secara keseluruhan. Pendekatan dari hulu—memperkuat ketahanan dan komunikasi keluarga—akan jauh lebih efektif daripada menangani dampak hilir seperti kenakalan remaja atau masalah kesehatan mental.
Artikel ini bukan dimaksudkan untuk menyalahkan pihak mana pun, melainkan sebagai refleksi dan ajakan untuk bersama-sama membangun kembali komunikasi yang lebih sehat dalam keluarga. Karena ketika keluarga gagal menjadi tempat pulang yang nyaman, berbagai masalah sosial akan bermunculan sebagai konsekuensinya.
Sebagaimana ungkapan bijak dari Prof. Paulus Wirutomo, sosiolog senior dari UI: “Ketahanan sosial sebuah bangsa dimulai dari ketahanan keluarga, dan ketahanan keluarga dimulai dari komunikasi yang jujur dan penuh kasih sayang.” Mari kita kembalikan fungsi keluarga sebagai pelabuhan yang aman bagi setiap anggotanya, terutama remaja yang sedang mencari jati diri. Keluarga bukan sekadar tempat pulang, tapi juga ruang tumbuh. Dengan komunikasi yang terbuka dan penuh pengertian, remaja dapat merasa aman menjadi diri mereka sendiri.
Referensi:
• Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E. (2010). Family Nursing: Research, Theory, and Practice. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
• Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2022). Indeks Ketahanan Keluarga Indonesia. Jakarta: KPPPA.
• Santrock, J.W. (2019). Life-Span Development (17th ed.). New York: McGraw-Hill Education.
• Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS.
• Lestari, S. (2020). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
• Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2021). Laporan Penelitian: Komunikasi Keluarga dan Kesehatan Mental Remaja di Indonesia. Depok: UI Press
• Irwanto. (2019). Intervensi Berbasis Keluarga untuk Kesejahteraan Anak dan Remaja. Jurnal Kesejahteraan Sosial Indonesia, 8(2), 112-128.
• Sarwono, S.W. (2018). Psikologi Remaja: Tantangan di Era Digital. Jakarta: Rajawali Press.
• Lembaga Demografi Universitas Indonesia. (2022). Perubahan Dinamika Keluarga Indonesia Pasca Pandemi COVID-19. Depok: UI Press.
• Wirutomo, P. (2021). Ketahanan Sosial dan Peran Keluarga dalam Pembangunan. Jurnal Sosiologi Indonesia, 11(1), 23-40.
Artikel ini adalah publikasi tugas mata kuliah Sosiologi Keluarga untuk Kesejahteraan Sosial dengan dosen pengampu Dr. Hairani Siregar S.Sos., M.SP. dan Dra. Berlianti, M.SP.
Artikel ini juga pernah dimuat dengan judul berbeda di situs Kumparan.