Di balik tembok tinggi lembaga pemasyarakatan, kisah tentang negara dan warganya tidak pernah berhenti. Mereka yang tengah menjalani masa pidana, meski terjerat hukum, tetaplah bagian dari bangsa ini. Justru di ruang-ruang pembinaan itulah, semangat kebangsaan diuji dan bisa ditumbuhkan kembali.
Wawasan kebangsaan, yang selama ini diasosiasikan dengan pendidikan formal atau aparatur negara, kini mendapat ruang baru di lingkungan Lapas dan Rutan. Pemasyarakatan tidak lagi semata berfungsi sebagai tempat penahanan, melainkan wadah untuk membentuk kembali kesadaran sebagai warga negara Indonesia.
Di Lapas Kelas I Surabaya, misalnya, kegiatan pembinaan kebangsaan rutin dilakukan dalam bentuk upacara hari besar nasional, diskusi nilai-nilai Pancasila, serta pembekalan hukum dasar negara. Tak sedikit narapidana yang mengaku baru benar-benar memahami arti kebangsaan setelah mereka berada di dalam penjara. Bagi sebagian, jeruji justru menjadi ruang refleksi terdalam.
“Dulu saya tak peduli. Tapi di sini, saya mulai sadar bahwa bangsa ini tetap menerima saya, walau saya pernah salah,” ujar Taufik (bukan nama sebenarnya), seorang narapidana kasus narkotika yang kini aktif dalam program kader wawasan kebangsaan di dalam Lapas.
Program pembinaan kebangsaan ini menjadi salah satu pilar penting dalam proses reintegrasi sosial. Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mendorong seluruh UPT Pemasyarakatan untuk menghadirkan materi-materi yang membangun nasionalisme. Tujuannya sederhana, namun krusial: agar narapidana tidak kehilangan rasa memiliki terhadap bangsa, serta tidak terjebak dalam arus ideologi radikal atau separatis.
Penguatan identitas nasional juga turut menjadi penyeimbang dalam dinamika kehidupan sosial di dalam penjara. Dalam kondisi yang rawan konflik, keberagaman latar belakang narapidana dapat dipersatukan lewat nilai-nilai kebangsaan. Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi titik temu dalam membangun kebersamaan di tengah keterbatasan.
Namun tantangan tetap ada. Kurangnya tenaga pengajar yang kompeten, minimnya fasilitas, serta persepsi publik terhadap narapidana masih menjadi penghalang. Padahal, proses pembinaan ini sejatinya bukan hanya untuk mereka yang berada di balik jeruji, tetapi juga untuk kebaikan masyarakat luas yang nantinya akan kembali menerima mereka.
Membangun kesadaran kebangsaan bukan perkara satu dua hari. Tapi dengan pendekatan yang humanis dan konsisten, penjara bisa menjadi ruang edukasi dan transformasi. Narapidana yang sadar akan jati dirinya sebagai bagian dari bangsa berpeluang lebih besar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Di dalam ruang-ruang sunyi Lapas, semangat merah putih masih bisa tumbuh. Kebangsaan tak berhenti di jeruji. Ia menyala dalam hati siapa pun yang mau belajar, bangkit, dan kembali menjadi bagian dari Indonesia.
Oleh Richo Ilham (Taruna POLTEKPIN Jurusan Ilmu Pemasyarakatan)