Baru-baru ini, Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengumumkan bahwa laporan belanja perpajakan Indonesia berhasil menempati peringkat kedua dari 105 negara dalam indeks transparansi. Pencapaian ini merupakan kabar baik yang patut dirayakan, mengingat transparansi adalah elemen kunci dalam tata kelola keuangan negara yang baik. Namun, jika diberikan penghargaan ini, terdapat sejumlah tantangan yang harus diatasi untuk memastikan dampaknya berkelanjutan.
Pencapaian ini tidak dapat dilihat ke sebelah mata. Laporan belanja perpajakan menjadi salah satu instrumen penting dalam mengukur bagaimana insentif pajak digunakan, siapa yang menerima manfaatnya, serta bagaimana hal ini berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. Dengan berada di peringkat kedua, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, yang selama ini menjadi sorotan dunia internasional.
Laporan belanja perpajakan juga mencerminkan upaya pemerintah untuk mendorong reformasi pajak. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melakukan perbaikan di sektor ini, termasuk melalui digitalisasi sistem perpajakan dan peningkatan kualitas data fiskal. Langkah ini sangat positif, terutama dalam konteks upaya pemerintah untuk menarik investasi dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara.
Meski pencapaian ini patut diapresiasi, penghargaan ini juga membawa tanggung jawab besar. Salah satu tujuan utama adalah memastikan bahwa data dan informasi dalam laporan perpajakan dapat benar-benar dimanfaatkan untuk pengambilan kebijakan yang lebih baik. Masih terdapat kesenjangan antara transparansi dan efektivitas implementasi kebijakan fiskal. Misalnya, meskipun insentif pajak diberikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor tertentu, evaluasi terhadap dampaknya sering kali belum dilakukan secara menyeluruh. Hal ini menghasilkan kebijakan yang berpotensi kurang tepat sasaran, sehingga manfaatnya tidak dirasakan secara optimal oleh masyarakat.
Sebagai warga negara, saya merasa bangga dengan pencapaian ini. Namun, penghargaan ini seharusnya menjadi awal dari perjalanan panjang menuju tata kelola keuangan yang lebih baik. Transparansi saja tidak cukup, yang lebih penting adalah bagaimana informasi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks belanja perpajakan, pemerintah perlu lebih fokus pada evaluasi dampak insentif pajak. Misalnya, jika insentif diberikan untuk sektor manufaktur, sejauh mana insentif tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja atau meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional? Data ini penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang “hilang” karena insentif pajak benar-benar menghasilkan manfaat yang sepadan.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa transparansi ini tidak berhenti di tingkat pusat. Pemerintah daerah, yang juga memiliki peran besar dalam pengelolaan keuangan publik, perlu didorong untuk menerapkan prinsip yang sama. Dengan demikian, transparansi dapat menjadi budaya yang merata di seluruh tingkatan pemerintahan.
Ditulis oleh:Akhfania Ikhma, Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo