
Awal Mula Fantasy Football
Di balik layar pertandingan Premier League, jutaan fans sibuk menyusun strategi. Mereka bukan manajer sungguhan, tapi pengaruh mereka nyata. Inilah dunia Fantasy Premier League. Awal mulanya, konsep dari fantasy sports ini lahir pertama kali di cabang olahraga golf, dicetuskan oleh Wilfred “Bill” Winkenbach pada akhir 1950-an.
Seperti yang dijelaskan Chris Towers dalam artikel Fantasy Football: The history of Fantasy football, the biggest seasons and the future di CBSSports.com, Winkenbach adalah seorang pengusaha Oakland yang mengembangkan permainan ini bersama teman-temannya sebagai cara baru untuk menikmati olahraga favorit mereka.
Setelah itu, Fantasy League menyebar dari mulut ke mulut bak gosip tetangga, dan berlabuh di Inggris pada tahun 1990 di cabang olahraga sepak bola. Sebelum era digitalisasi, football fantasy mengandalkan pulpen, kertas, dan data statistik. Namun seiring berkembangnya teknologi, fantasy football kini hadir dalam genggaman kita tanpa menghilangkan sisi klasik sepak bola, tapi justru membuka cara baru untuk mencintainya.
FPL Sebagai Fenomena Global
Seiring berkembangnya konsep fantasy sports, sepak bola pun mengadopsinya dalam berbagai format, dan salah satu yang paling terkenal adalah Fantasy Premier League. Keasikan, ketegangan, dan kompetitif adalah unsur penting dalam sebuah game, dan FPL mampu memberikan itu semua. FPL berpusat di salah satu kompetisi bola paling populer di dunia, yaitu Premier League, bahkan bisa dibilang sebagai rajanya.
Para pemain FPL diharuskan untuk memilih 11 pemain utama dan 4 pemain cadangan. Fitur lainnya yang menarik perhatian adalah kebebasan untuk membuat liga privat, yang membuat game ini lebih kompetitif dan memungkinkan dimainkan bersama kerabat terdekat kita.
Dampak FPL Terhadap Cara Fans Menikmati Sepakbola
FPL mengubah cara fans menikmati sepakbola. Kini, para pemain FPL tidak hanya menonton pertandingan tim favoritnya saja, namun, mereka juga menonton pertandingan dari tim lain guna menemukan pemain ideal yang bisa dibawa ke timnya. Walaupun kompetitif, FPL tidak bisa terlepas dari yang namanya komunitas. Sudah sejatinya bahwa sepakbola selalu berkembang bersama dengan komunitas.
Para pemain FPL banyak membuat perkumpulan di dunia maya, melalui perkumpulan ini, mereka berbagi soal “pemain” mana saja yang kini bisa menghasilkan banyak poin. Selain itu, komunitas yang dibangun pun merangkul semua pemain FPL tanpa memandang klub favorit mereka.
Faris, seorang pemain FPL aktif sejak 2018, berbagi pengalamannya, “Saya dulu cuma nonton Arsenal. Tapi sekarang, saya bisa nonton Brentford lawan Fulham karena saya punya Bryan Mbeumo di tim saya. Rasanya seperti punya saham kecil di tiap pertandingan.” Ia juga menambahkan bahwa FPL membuatnya lebih melek data dan strategi. “Saya dulu nonton bola pakai perasaan. Sekarang saya nonton bola sambil buka statistik expected goals dan heatmap pemain.”
Komunitas adalah jantung dari FPL. Para pemainnya membuat grup, berbagi tips, dan kadang bahkan berdebat soal siapa kapten terbaik untuk gameweek berikutnya. Mereka tersebar di platform seperti X, Reddit, Discord, etc. membangun budaya baru dalam menyikapi sepak bola. Lewat FPL, muncul fans sepak bola generasi baru yang tidak hanya loyal pada satu klub, tetapi juga setia pada data.
FPL pun berhasil mengangkat popularitas pertandingan yang sebelumnya tak dilirik. Para pemain rela bangun dini hari atau begadang demi menyaksikan laga Crystal Palace vs Luton Town, karena satu tekel atau satu gol bisa menjadi pembeda antara menang dan kalah di liga mini mereka.
Dengan meledaknya pengguna FPL, ini menginisiasi lahirnya fans sepakbola dengan kultur barunya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya akun sepakbola yang membuat liga FPL mereka sendiri sebagai cara untuk merespons kultur baru ini, beberapa media pun mulai membicarakan tentang FPL, dan bahkan di laman resmi Premier League pun tersedia banyak blog tentang FPL.
Pengaruh FPL Terhadap Pemain dan Klub

FPL tidak hanya berpengaruh kepada para penggemar saja, tetapi juga pada pemain dan klub. Pada musim 2023/2024, saat diwawancarai di laman YouTube Premier League, Mo Salah berkomentar tentang harganya yang dipatok sangat mahal, namun ia menambahkan bahwa ia mengerti soal keputusan tersebut, dan ia mengatakan akan mendapatkan poin yang banyak dalam satu musim.
Pada tahun 2021, Raheem Sterling yang kala itu masih berseragam Manchester City kerap berkomentar pada platform X miliknya, ia meminta maaf kepada orang-orang yang memilihnya karena tidak bisa mencetak skor. Pada tahun yang sama, Aston Villa mengalami hal buruk dikarenakan FPL. Jack Grealish yang kala itu masih membela The Villans, sedang mengalami cedera, namun hal ini belum tersebar di dunia maya, sampai salah satu pengguna FPL menyebarkan rumor cederanya Jack Grealish melalui platform X dengan username FPL Insider.
Ia memberitahu bahwa Matt Targett, Conor Hourihane dan Neil Taylor bersama dengan dua staff Aston Villa lainnya mentransfer Grealish dari tim FPL-nya. Hal ini berujung pada kekalahan di kandang Villa dengan skor 2-1 saat melawan Leicester City. Dean Smith yang kala itu memimpin The Villans turut berkomentar. Ia sadar bahwa ada yang menyebarkan rumor itu di sosial media, yang membuatnya sangat jengkel, dan ia tidak akan diam saja. Aston Villa kemudian melarang para pemain dan juga staff mereka untuk menggunakan FPL untuk menghindari hal serupa kedepannya, sedangkan untuk beberapa klub lain, mereka melarang pemainnya memilih rekan setim mereka.
Meskipun FPL tidak secara langsung mengubah sepak bola, pengaruhnya terhadap interaksi fans, pemain dan klub sangat terasa. Fans kini lebih terlibat dalam menganalisis permainan, tetapi di sisi lain, pemain menghadapi tekanan tambahan terkait performa individu. FPL membawa dampak positif bagi ekonomi sepak bola, tetapi juga menimbulkan tantangan tersendiri bagi para pemain dan klub.