Ring of Fire sebutan untuk Indonesia yang berarti negara yang akan selalu dibayangi dengan bencana. Bencana semestinya bisa menjadi sahabat dekat bagi masyarakat Indonesia. Tentu tidak terkecuali kita yang ada di Makassar atau di mana saja. Sehingga aktifitas kita sehari-hari sudah dilengkapi dengan pemahaman tanggap bencana.
Menurut Dwikorita Karnawati sebagaimana dikutip dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan bahwa Warga Kobe, Jepang yang selamat dari bencana alam disebabkan karena upaya pertolongan sendiri (34.9%), pertolongan keluarga (31.9%), pertolongan teman atau tetangga (28.0%), pertolongan pejalan kaki (2.6%), pertolongan oleh tim penyelamat (1.7%), dan pertolongan lainnya hanya (0.9%). Dari data di atas, maka disimpulkan pertolongan sendiri akan mengakibatkan banyak nyawa yang selamat jika terjadi bencana.
Bencana bisa saja diperkirakan datangnya. Namun di waktu yang bersamaan, bencana bisa datang tanpa memberi peringatan seperti terjadi di penghujung tahun 2018 di Banten dan Lampung. Bencana tidak perlu membuat kita takut secara berlebihan. Bencana harusnya kita hadapi dengan penuh ketangkasan.
Tanggap bencana yang efektif dan efisien menurut penulis setidaknya ada tujuh hal. Pertama, sedia menghadapi bencana tanpa rasa takut. Tidak perlu takut dengan bencana. Dari orang kecil sampai orang dewasa semestinya telah punya pengetahuan dan bersiap sedia untuk menghadapi bencana.
Kedua, menyiapkan bahan-bahan makanan dan minuman yang cukup di segala sudut rumah. Kita bisa belajar di beberapa negara seperti Selandia Baru yang menyimpan makanan dan minuman di tempat sampah. Ini dilakukan untuk mengamankan situasi lapar saat terkurung beberapa hari di dalam gedung. Oleh karena itu, pelajaran dari Negeri Kiwi ini bisa kita adopsi untuk tempat kita yang sering dikunjungi bencana.
Ketiga, mengamankan segala dokumen mulai dari pendidikan hingga data-data terkait kependudukan. Kita harus menduplikat dokumen-dokumen penting dan menyimpannya di tempat penyipanan online, diemail atau di harddisk (flashdisk) yang dimiliki.
Keempat, mengikuti arahan atau edukasi bencana dari setiap tempat yang kita singgahi. Sehingga, saat berkunjung di mana saja, hal paling utama kita ketahui adalah ruang-ruang darurat itu. Maka saat terjadi bencana, kita sudah tanggap dengan kejadian yang akan menimpa.
Kelima, menyediakan tas sederhana yang memuat pakaian untuk dua sampai tiga hari ke depan. Ini dilakukan dengan harapan akan datang bantuan pakaian dari saudara yang membantu. Jangan menyiapkan koper besar, karena akan memberatkan saat evakuasi terjadi.
Keenam, pengisian tenaga atau bahan bakar untuk kendaraan, alat komunikasi dan senter harus selalu keadaan penuh. Bahan bakar di kendaraan harus selalu dalam keadaan terisi. Sehingga bisa digunakan untuk pergi ke tempat yang aman. Alat komunikasi juga tidak boleh dalam keadaan kosong, harus dipenuhi dengan energi agar dapat mengabarkan keadaaan kita kepada keluarga dan sahabat. Senter atau alat penerang lainnya tidak kalah pentingnya untuk dibutuhkan saat darurat. Bencana alam umumnya mengakibatkan listrik padam. Maka dengan adanya senter, bisa menjadi alternatif pencahayaan kita.
Ketujuh, terus bergerak untuk selamat. Banyak kasus korban bencana alam selamat karena terus bergerak. Saat terjadi banjir, Hal paling sederhana segera pergi ke tempat yang lebih tinggi. Jangan berdiam diri di rumah atau menunggu bantuan datang. Selagi Ada kesempatan menyelamatkan diri, segera evakuasi diri sendiri baru menyelamatkan orang lain.
Keterampilan menghadapi bencana sudah saatnya dibekali sejak dini. Para orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat harus menyebarkan informasi mengenai kesiap-siagaan kita dalam memitigasi bencana. Setidaknya mampu kita minimalisir dampak buruk dari bencana. Kalau bukan kita sendiri yang menyelamatkan, maka tunggulah diselamatkan.