Jakarta, 7 Mei 2025 — Upaya modernisasi industri kelapa sawit terus diperkuat melalui kolaborasi lintas negara. Himpunan Profesional Kelapa Sawit Indonesia (HIPKSINDO) bersama platform informasi Hai Sawit menyelenggarakan Hai Sawit Symposium (HASI) 2025 bertajuk “Mekanisasi, Digitalisasi, dan Teknologi Industri Sawit di Indonesia dan Malaysia”. Acara ini berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (7/5), dan menjadi forum strategis untuk berbagi inovasi terbaru antara dua negara penghasil sawit terbesar di dunia.
Acara dibuka oleh Kepala Pusat Badan Riset dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri, mewakili Menteri Pertanian dan Kepala Badan BRMP. Dalam sambutannya, Kuntoro menekankan pentingnya transformasi teknologi untuk menjaga daya saing dan keberlanjutan industri sawit nasional.
“Industri sawit adalah tulang punggung perekonomian nasional. Dengan luas areal mencapai 16,83 juta hektare dan produktivitas nasional 3,6 ton CPO per hektare per tahun, sektor ini menyumbang devisa lebih dari Rp440 triliun pada 2024 melalui ekspor CPO dan turunannya,” ujar Kuntoro, merujuk pada data BPS dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Selama periode 2020–2024, industri sawit Indonesia menunjukkan ketangguhan menghadapi tantangan global, mulai dari fluktuasi harga minyak nabati hingga hambatan perdagangan seperti kebijakan Deforestation-Free Regulation (DFR) dari Uni Eropa. Produksi crude palm oil (CPO) nasional pada 2024 tercatat sebesar 45,5 juta ton, sementara palm kernel oil (PKO) mencapai 4,7 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 30 juta ton berhasil diekspor.
Namun, Kuntoro juga mengingatkan bahwa industri sawit menghadapi tantangan serius di tingkat hulu. Salah satunya adalah penyakit busuk pangkal batang akibat cendawan Ganoderma boninense, yang dilaporkan menyebabkan kehilangan hasil hingga 50% di beberapa sentra produksi utama seperti Riau dan Kalimantan Tengah.
Untuk itu, BRMP mendorong pendekatan agromodern berbasis riset dan teknologi. Beberapa strategi pengendalian yang dikembangkan mencakup penggunaan agen hayati seperti Trichoderma sp., sistem monitoring digital berbasis kecerdasan buatan (AI), serta perakitan varietas sawit tahan ganoderma melalui pendekatan bioteknologi.
“Kami mengelola lebih dari 200 aksesi plasma nutfah sawit dari Kamerun dan Angola di Kebun Sitiung, Dharmasraya, Sumatera Barat. Ini menjadi sumber penting dalam merakit varietas unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim dan tahan penyakit,” jelas Kuntoro.
Dalam sesi yang sama, M. Gema Aliza Putra, Pemimpin Umum Hai Sawit Indonesia, menyatakan bahwa simposium HASI 2025 dirancang sebagai platform lintas negara yang mempertemukan akademisi, pelaku industri, penyuluh, hingga petani.
“HASI 2025 bukan hanya ajang temu wicara, tapi juga forum kolaborasi untuk memetakan masa depan industri sawit berbasis teknologi. Mekanisasi dan digitalisasi bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan untuk menjawab tantangan produktivitas dan efisiensi di tengah tekanan isu keberlanjutan global,” tegas Gema.
Simposium ini menghadirkan panel diskusi dari para ahli industri dari Indonesia dan Malaysia, memamerkan inovasi seperti traktor otonom untuk panen, sistem penilaian kualitas tandan buah segar berbasis kamera AI, dan integrasi blockchain untuk ketertelusuran rantai pasok sawit.
Sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia, Indonesia dan Malaysia memiliki kontribusi lebih dari 80% terhadap pasokan global. Kolaborasi dalam riset, regulasi, dan inovasi menjadi krusial untuk menjaga posisi strategis di pasar dunia, terutama menghadapi tekanan kebijakan hijau dari negara konsumen utama di Eropa dan Amerika Utara.
Simposium HASI 2025 ditutup dengan deklarasi bersama untuk memperkuat riset bersama, harmonisasi standar teknologi, dan pengembangan SDM di bidang perkebunan sawit berkelanjutan. Diharapkan hasil simposium ini dapat menjadi masukan strategis bagi roadmap industri sawit nasional ke depan.