Jakarta, 5 Mei 2025 — Dalam momentum Hari Buruh Internasional, sebuah langkah monumental dalam pembangunan ekosistem perfilman Indonesia resmi dimulai dengan dideklarasikannya Serikat Pekerja Kreatif Perfilman Indonesia (SPKPFI) di Gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta Selatan. SPKPFI hadir sebagai wadah perjuangan yang bertujuan mengadvokasi dan melindungi hak-hak para pekerja kreatif serta pelaku perfilman dari berbagai lini.
Deklarasi ini disampaikan oleh Agus Supriyadi, Presiden Partai Buruh, yang menegaskan pentingnya pembentukan serikat sebagai sarana perlindungan formal bagi pekerja film. Ia menyuarakan realitas getir yang dialami banyak pekerja film: tidak adanya jaminan sosial, pesangon, maupun royalti yang layak.
“Sudah saatnya para pekerja film memiliki serikat yang benar-benar memperjuangkan hak, kesejahteraan, dan masa depan mereka. Di luar negeri, seperti Hollywood, ada lebih dari 14 serikat yang membela pekerja film. Kita pun harus punya,” ujar Agus Supriyadi.
SPKPI diinisiasi oleh Sonny Pujisasono, atau Qdemang, yang melihat minimnya perhatian organisasi perfilman terhadap perlindungan kerja. Ia menyoroti bahwa organisasi yang ada cenderung hanya fokus pada pelatihan dan sertifikasi kompetensi, namun mengabaikan aspek perlindungan kesejahteraan pekerja.
“Organisasi perfilman lebih banyak bicara soal pelatihan dan peningkatan keterampilan. Tapi bagaimana dengan perlindungan saat mereka sakit, tidak produksif dan kecelakan di lapangan, serta masa pensiun? Itulah yang menjadi semangat dasar SPKPFI,” jelas Sonny.
Budi Sumarno, salah satu pendiri Serikat Pekerja Film Indonesia, turut menyampaikan dukungannya. Ia mengajak seluruh pekerja kreatif — baik aktor, penulis, teknisi, hingga kru lapangan — untuk bersama memperkuat solidaritas melalui SPKPFI.
“Hanya serikat pekerja yang akan berdiri bersama para kreator ketika mereka menghadapi persoalan di lapangan. Sudah waktunya kita membangun kekuatan itu bersama,” tegas Budi.
Kehadiran Paramita Rusadi, eksekutif Museum Perfilman Sinematek Indonesia, menambah bobot deklarasi ini. Dengan pengalaman langsung di lapangan, ia menyampaikan berbagai tantangan yang dihadapi para kru film — dari keterlambatan honorarium, hingga kurangnya perlindungan saat terjadi kecelakaan kerja. Ia pernah mengalami gangguan pendengaran karena suara tembakan saat syuting dan harus menanggung sendiri biaya pengobatan tanpa dukungan dari rumah produksi.
“Saya sangat mengapresiasi gagasan SPKPFI yang digagas oleh Qdemang.panggilan akrab Sonny Pujisasono, Sudah saatnya para pekerja film punya perlindungan nyata. Saya mendukung penuh dan berharap serikat ini bisa menjadi wadah perjuangan yang kuat,” ujar Paramita.
Wartawan senior Yan Wijaya, yang juga hadir dalam deklarasi ini dan telah lama mengenal dekat perjuangan Paramita dan para pelaku film, menyampaikan dukungannya terhadap terbentuknya SPKPFI sebagai tonggak penting dalam sejarah perfilman Indonesia.
SPKPFI diharapkan dapat menjadi kekuatan kolektif yang tak hanya memperjuangkan hak-hak dasar pekerja film, tetapi juga menjadi mitra strategis bagi pemerintah dan pemangku kebijakan dalam menciptakan industri film nasional yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.(Witaka)