Semarang, 28 April 2025 — Ujaran pedas Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi atau yang biasa disingkat KDM, meledak di ruang publik: “Kamu miskin, jangan sok kaya!” Kalimat ini bukan hanya menuai kontroversi dan perdebatan para netizen, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang pola pikir generasi muda dan bagaimana realitas keras sering kali berbenturan dengan gengsi anak muda.
Pernyataan itu keluar dalam momen panas saat Kang Dedi Mulyadi berdebat dengan Aura Cinta, remaja yang viral setelah rumah keluarganya digusur. Aura menolak uang ganti rugi dan ngotot mempertanyakan larangan wisuda, seolah wisuda meriah adalah hak yang mutlak untuk mempertahankan kenangan setelah mengemban pendidikan SMA selama 3 tahun, walaupun mengerti bagaimana ketidak pastian ekonomi keluarganya.
Gengsi Tak Sesuai dengan Ekonomi
Apa yang terjadi pada Aura sesungguhnya lebih dalam dari sekadar perdebatan soal acara wisuda. Ini soal bagaimana generasi hari ini, di bawah tekanan sosial media dan budaya pencitraan, sering kali terjebak dalam keinginan mempertahankan gengsi — bahkan saat kondisi nyata tidak mendukung.
Dilansir dari dosenpsikologi.com, dalam artikel Dampak Psikologis Media Sosial. ‘Mereka akan selalu menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang sempurna namun tak sesuai dengan dirinya di dunia nyata. Masalah ini biasanya dipicu oleh rasa gengsi sehingga seseorang menjadi tidak berani untuk mempresentasikan gambaran dirinya yang sebenarnya.’
Wisuda, dalam konteks ini, bukan lagi soal simbol pendidikan, melainkan ajang pamer status. Aura, yang tengah menghadapi krisis tempat tinggal, tetap menuntut pesta kelulusan atau kumpul-kumpul. Sebuah prioritas yang bagi Kang Dedi Mulyadi terasa janggal dan membebani orang tua. Kang Dedi Mulyadi mengatakan bahwa tanpa perpisahan tidak menjadikan sekolah dan kenangan hilang.
“Tinggal aja masih di bantaran sungai, kenapa gaya hidup begini,” kata KDM, dengan gestur tangan naik memeragakan gaya hidup yang tinggi.
Realitas Sosial yang Enggan Diterima
Dalam masyarakat kita, mengakui keterbatasan sering dianggap memalukan. Ada tekanan kuat untuk tetap “terlihat berhasil”, meskipun kondisi nyata berbanding terbalik. Itulah kenapa kalimat Kang Dedi Mulyadi terasa pahit. Ia menyerang langsung akar masalah mentalitas sosial hari ini.
Hal ini juga dikenal dengan Social Climber, penyakit jiwa dimana seseorang ingin terlihat memiliki status sosial yang lebih tinggi. Dilansir dari ambararajanews.com dalam Generasi Muda Sedang Darurat Penyakit “Sosial Climber” mengatakan, ‘para pelaku “social climber”, akan merasa tidak nyaman, tidak percaya diri, dan khawatir tidak diterima di lingkungannya (apabila tidak tampil glamour).’
Banyak pihak mengkritik gaya Kang Dedi Mulyadi yang dianggap kasar dan kurang empati. Namun di sisi lain, sebagian publik merasa peringatan ini perlu, apalagi di era di mana gaya hidup kerap melebihi isi dompet.
“Miskin kan? Kenapa Miskin, Gayanya Orang Kaya” — Pernyataan sarkas yang menohok realitas
Dalam kasus Aura, penolakan terhadap kebijakan dihapusnya wisuda mencerminkan sebuah keengganan menerima realitas pahit. Miskin dianggap aib yang harus disamarkan dengan ilusi kemewahan. Padahal, justru dari kesadaran terhadap keterbatasan itulah perubahan bisa dimulai seperti yang dikatakan Kang Dedi Mulyadi, ‘Miskin itu prihatin, membangun masa depan.’
Kang Dedi Mulyadi mungkin tampil tanpa basa-basi bahkan terkesan menghujam, tapi esensi pesannya jelas: menghadapi kenyataan lebih penting daripada membangun ilusi.
Antara Kejujuran dan Kekasaran
Kalimat “Kamu miskin, jangan sok kaya” mungkin terdengar kasar di telinga yang terbiasa dibuai eufemisme dan standar sosial media. Tapi dalam dunia nyata, kadang kejujuran pahit jauh lebih berguna daripada validasi semu. Di tengah maraknya pemerintah yang meninabobokan rakyat dengan janji manis, gaya blak-blakan seperti ini bisa menjadi alarm keras.