“Siapa sangka, seorang remaja Sri Lanka yang hanya bermimpi menjejakkan kaki di negeri asing kini berhasil menjalani hidup sebagai mahasiswa internasional di Indonesia?”
Fathima Thaybah Mohammed Imran, pemudi berusia 20 tahun asal Colombo, Sri Lanka ini adalah sosok yang membuktikan bahwa mimpi besar, keberanian untuk keluar dari zona nyaman, dan semangat untuk belajar bisa mengubah hidup seseorang. Ia kini menghadapi dunia baru yang penuh tantangan dan kejutan budaya. Apa yang membuatnya memilih Indonesia, bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungan baru, dan apa saja cerita menarik dari perjalanannya? Mari kita telusuri lebih dalam.
Memilih Indonesia: Mimpi yang Terwujud
“Alasan utama saya datang ke sini adalah karena beasiswa dapatkan dari Kedutaan Besar Indonesia di Sri Lanka,” ungkap Thaybah. “Ini selalu menjadi impian saya untuk belajar di luar negeri.” Kesempatan beasiswa ini memungkinkannya untuk tidak hanya memenuhi aspirasi akademisnya, tetapi juga menjelajahi negara yang secara geografis dan budaya berbeda dengan Sri Lanka. Dia mengungkapkan kegembiraannya tentang kesempatan ini, dengan mengatakan, “Ini bukan hanya tentang akademis tetapi juga tentang pengalaman hidup di lingkungan yang benar-benar baru.”
![Dari Sri Lanka ke Nusantara: Petualangan Lintas Budaya Fathima Thaybah yang penuh warna 2 Gambar3](https://www.siaran-berita.com/wp-content/uploads/2024/12/Gambar3.jpg)
Kesan Pertama tentang Indonesia
Setelah tinggal di Indonesia selama empat bulan, Thaybah menceritakan kesan pertamanya tentang negara ini. “Tempat ini sangat luas dan terang,” katanya, merefleksikan kekagumannya pada saat tiba. Namun, pengalamannya juga termasuk momen kerusuhan politik saat pertama kali tiba di Indonesia. “Kami melihat protes di depan parlemen, dan saya berpikir, \’Ahh, kita mulai lagi.” Dia menggambarkan berbagai emosi yang dia rasakan-dari kegembiraan hingga kebingungan-dan mencatat perbedaan yang mencolok dalam iklim: “Cuacanya di sini sangat panas.” Meskipun demikian, Thaybah sangat terkesan dengan keramahan penduduk setempat. “Meskipun dengan kendala bahasa, semua orang tampak ramah,” tambahnya.
Mengatasi Culture Shock
Menyesuaikan diri dengan kehidupan di Indonesia merupakan sebuah proses pembelajaran. “Awalnya, saya pikir bahasa tidak akan menjadi kendala karena universitas memasarkan dirinya sebagai universitas berbahasa Inggris. Namun ternyata mahasiswa Indonesia kerap kali berinteraksi dalam Bahasa Indonesia, jadi cukup sulit untukku berinteraksi satu sama lain,” jelasnya. Penggunaan bahasa Indonesia dalam interaksi sehari-hari menjadi tantangan yang tidak terduga. Selain itu, perbedaan budaya – dari gaya komunikasi hingga kebiasaan makan – semakin menyoroti kompleksitas hidup di negara baru.
Thaybah mencatat bahwa salah satu pergeseran budaya yang mengejutkan adalah keterbukaan komunitas Muslim Indonesia. “Di Sri Lanka, interaksi terbuka antar jenis kelamin merupakan hal yang tidak terlalu umum dalam komunitas Muslim, namun di sini terlihat biasa dan banyak, jadi itu salah satu culture shock ku,” katanya. Penyesuaian lainnya adalah kebiasaan sehari-hari seperti waktu makan, yang lebih fleksibel dibandingkan dengan jadwal terstruktur yang biasa ia jalani di Indonesia.
Perbedaan Budaya yang Mencolok
Thaybah mengamati beberapa perbedaan utama antara Sri Lanka dan Indonesia. “Sri Lanka memiliki masyarakat multi-etnis, tetapi di sini, meskipun ada banyak sekali perbedaan, tampaknya ada elemen pemersatu di antaranya,” katanya. Dan “Infrastruktur di sini memiliki skala yang jauh lebih besar, dan lingkungan yang ramah terhadap umat Muslim sangat melegakan. Saya tidak perlu berpikir dua kali untuk mencari makanan halal.”
Adaptasi kuliner, bagaimanapun, relatif mudah baginya. “Makanan Indonesia berkisar pada nasi, yang mirip dengan Sri Lanka. Namun tekstur dan persiapannya berbeda. Di sini, nasinya lebih padat,” jelasnya. Makanan favoritnya adalah nasi goreng sapi dan sate padang. “Kebanyakan hidangan berbahan dasar daging sapi adalah favorit saya,” akunya sambil tersenyum. Meskipun menikmati cita rasa lokal, ia menyadari adanya perubahan dalam kebiasaan makannya. “Nafsu makan saya pasti berubah, dan saya makan lebih sedikit sayuran-sesuatu yang tidak akan membuat ibu saya senang!” candanya, sambil menambahkan bahwa ia tetap berusaha untuk menjaga pola makan yang seimbang.
Nasi Goreng Sapi dan Sate Padang
sumber detikfood.com dan wikipedia
Kehidupan Sehari-hari sebagai Mahasiswa Internasional
Kehidupan sebagai mahasiswa internasional memiliki pasang surut. “Sebagian besar hari terasa menyenangkan, tetapi ada hari-hari yang membuat saya mempertanyakan segalanya dan merasa rindu rumah,” kata Thaybah. “Tetapi ini adalah sebuah proses, dan saya bersyukur atas kesempatan ini. Saya yakin saya telah membuat keputusan yang tepat.”
Perjalanannya untuk mengatasi culture shock melibatkan upaya-upaya kecil dan konsisten. “Saya masih mencari tahu banyak hal,” katanya dengan jujur. Menjadi bagian dari Asosiasi Mahasiswa Internasional di President University telah menjadi sumber dukungan. “Asosiasi ini membantu dalam memahami lingkungan dan menjembatani kesenjangan budaya.”
Thaybah juga berbagi tentang bagaimana rutinitas hariannya termasuk menyeimbangkan antara akademis dan pengembangan diri. “Ini bukan hanya tentang studi; ini tentang belajar mengelola semuanya secara mandiri untuk pertama kalinya,” katanya.
Menjembatani Kesenjangan Komunikasi
Bimbingan bahasa dan budaya dari teman-teman Indonesia sangat berharga. “Mereka mengajari saya kata-kata sehari-hari, yang membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Mereka juga membantu saat kami keluar – seperti memesan makanan atau memahami lingkungan sekitar. Mereka selalu ada saat saya bingung,” katanya dengan penuh rasa syukur. “Memiliki sekelompok teman yang mendukung telah membuat transisi menjadi lebih lancar.”
Wawasan Teoritis: Memahami Culture Shock
Pengalaman Thaybah dapat dipahami melalui teori adaptasi budaya seperti model Kurva-U, yang menguraikan tahap-tahap penyesuaian diri dalam budaya baru. Awalnya, individu mengalami fase bulan madu yang ditandai dengan kegembiraan dan ketertarikan terhadap lingkungan barunya. Hal ini diikuti dengan fase culture shock, yang ditandai dengan rasa frustrasi dan tantangan dalam menyesuaikan diri dengan perbedaan. Secara bertahap, ketika mereka belajar untuk menavigasi lingkungan baru mereka, individu memasuki fase penyesuaian, yang mengarah pada penerimaan dan integrasi pada akhirnya. Perjalanan Thaybah menggambarkan perkembangan ini, saat ia bergerak dari kegembiraan awal ke saat-saat keraguan dan akhirnya menuju rasa memiliki.
Saran untuk Mahasiswa Sri Lanka
Bagi sesama warga Sri Lanka yang mempertimbangkan untuk belajar di Indonesia, Thaybah memberikan saran yang sederhana namun sangat penting: “Belajarlah bahasa terlebih dahulu. Itu akan membuat perbedaan yang sangat besar.” Dia menekankan pentingnya persiapan, termasuk membiasakan diri dengan budaya dan adat istiadat Indonesia untuk memudahkan proses penyesuaian.
Wawasan tentang Budaya Sri Lanka
Berkaca dari negara asalnya, Thaybah memberikan gambaran sekilas tentang dinamika sosial di Sri Lanka. “Kami adalah masyarakat multi-etnis dengan kelompok-kelompok seperti Tamil, Sinhala, Burgher, Moor, Melayu, Jawa, Pathan, dan Portugis. Sayangnya, diskriminasi berdasarkan agama dan keturunan masih ada,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa meskipun keragaman ini memperkaya, namun juga membawa tantangan tersendiri. Seperti juga yang sudah dikatakan diawal bahwa di Indonesia memiliki lebih banyak etnis dan suku, namun mereka sama sekali tidak membeda-bedakan satu sama lain.
Norma-norma budaya di sekitar kehidupan sehari-hari juga sangat berbeda. “Di Sri Lanka, kebanyakan orang sudah berada di tempat tidur pada pukul 10 malam, dan kehidupan malam sangat minim. Wanita, khususnya, cenderung menghindari keluar rumah setelah gelap karena masalah keamanan,” katanya. “Lingkungan tidak selalu aman, jadi tindakan pencegahan diperlukan.”
Melihat ke Depan
Terlepas dari tantangan yang ada, Thaybah tetap optimis dengan perjalanannya di Indonesia. “Pengalaman ini membentuk saya menjadi lebih baik,” pungkasnya. “Setiap hari di sini adalah kesempatan untuk belajar, dan saya bersyukur atas pertumbuhan yang terjadi dalam hidup saya.” Ketangguhan dan keterbukaannya terhadap pengalaman baru merupakan bukti dari kemungkinan yang memperkaya pendidikan lintas budaya.
Peran Pertukaran Budaya dalam Pertumbuhan Pribadi
Kisah Thaybah menggarisbawahi pentingnya pertukaran budaya dalam mendorong pertumbuhan pribadi dan profesional. Berinteraksi dengan budaya baru tidak hanya memperluas pandangan dunia seseorang, tetapi juga meningkatkan kemampuan beradaptasi, keterampilan komunikasi, dan empati-kualitas yang sangat penting dalam dunia yang semakin mengglobal. Dengan merangkul tantangan dan peluang belajar di luar negeri, Thaybah mencontohkan bagaimana melangkah keluar dari zona nyaman seseorang dapat menghasilkan transformasi yang mendalam.
Perjalanan Thaybah tidak hanya menyoroti seluk-beluk beradaptasi dengan lingkungan baru, tetapi juga menggarisbawahi kekuatan transformatif dari melangkah keluar dari zona nyaman. Kisahnya merupakan pengingat bahwa tantangan dapat mengarah pada pertumbuhan dan peluang baru, membuka jalan untuk masa depan yang lebih cerah.
Rizky Bayu Satriya
Mahasiswa Ilmu Komunikasi | President University